Berada di Antara

342 60 8
                                    

Maukah lagi kau mengulang ragu
Dan sendu yang sama
Dia yang dulu pernah bersamamu
Memahat kecewa

Atau kayu inginkan yang baru?
Yang sungguh menyayangimu
.
.
Tulus & Glenn Fredly - Adu Rayu
.
.
.
.
.
.
Kupikir, hari pertama berada di rumah sakit tanpa Gandhi akan menjadi hari yang berat. Nyatanya aku justru merasa lega, entah kenapa. Mungkin karena keresahanku di beberapa minggu terakhir, luntur begitu saja seiring kepergian Gandhi. Lebih tepatnya, saat kami sama-sama menutup kisah dengan baik. Dengan doa-doa baik kami untuk masa depan masing-masing.

Meski begitu, kelegaan di hatiku tidak mampu mengurangi rasa kehilangan akan kebiasaan kami selama lima tahun yang selalu berbagi kabar. Aku menghela nafas meresapi kerinduanku padanya. Apalagi ketika Gandhi baru saja mengabarkan di grup chat kami kalau sudah mendarat dan sedang menunggu bagasi. Sedikit terlambat dari jadwal yang Gandhi beritahu sebelumnya.

"Masih kepikiran ya?" Aku menoleh dan hanya bisa tersenyum ketika Milly melingkarkan lengannya di pundakku sembari melirik ponsel yang kupegang.

Kami baru saja selesai rapat bersama para chief dokter Prama Medika dan sedang menikmati camilan yang disediakan. Milly menyerahkan satu cup es krim kehadapanku yang kubalas dengan ucapan terima kasih.

"Ngerasa beda aja. Biasanya japri, sekarang ngabarinnya di grup. Biasanya juga dia kan yang ngambilin aku makanan." candaku, tapi tidak berhasil membuat Milly tersenyum. "Aku nggak apa-apa kok, Mil." lanjutku menenangkan.

"Iya, percaya. Aku aja yang masih baper, kayak nggak rela gitu kalian udahan. Kalian tuh cocok banget lho. Bukan cuma secara fisik ya. Yah walopun aku juga udah bayangin kalo kalian punya anak, pasti cakep-cakep, lucu, putih, gemes. Tapi aku juga bisa lihat kalo sayangnya kalian itu setara. Nggak cuma Gandhi atau kamu doang yang bucin, tapi kalian. Dua-duanya." Aku terhibur melihat Milly yang entah sudah berapa kali mengulang kalimat itu selama perjalanan kami semalam. Jika ada yang disebut pendukung militan hubungan kami, mungkin Milly orangnya.

"Tapi ya udah lah ya, kalian kan udah sepakat." lanjutnya, membuatku mengangguk. "Mungkin sedihku juga butuh waktu, kayak pas Song-Song Couple bubar."

Mau tidak mau aku kembali tersenyum mengingat bagaimana histerisnya Milly ketika pasangan idolanya itu bercerai. Milly nyaris absen di salah satu skill lab kami saking sedihnya. Dan satu-satunya yang mengembalikan senyumnya adalah kabar tentang hubunganku dengan Gandhi yang naik level ketika itu.

Lima tahun yang penuh cerita dan berkesan. Namun setiap cerita punya waktunya masing-masing bukan?

"Makasih ya, Mil, udah segitu sayangnya sama aku dan Gandhi. Do'ain yang terbaik aja buat kami." kataku.

"Boleh nggak sih do'ain kalian balik lagi?"

Aku kembali tertawa sebelum kemudian berhenti ketika mendengar suara lain di dekat kami.

"Ngapain balik ke cerita yang sama?" Aku dan Milly sama-sama menoleh ke sumber suara yang berdiri di sebelahku. "Balik nggak, Di?"

"Kamu kok di sini? Katanya tadi mau nunggu sampe aku beres." balas Milly dengan kerutan dalam di kening saat melihat Yudhis. Kata Milly, Yudhis berjanji menggantikannya di trauma centre hingga rapat kami selesai. Kalau dia ada di sini, artinya trauma centre tidak ada dokter jaga.

"Aku janji nunggu sampai selesai meeting ya. Bukan selesai ngemil." balas Yudhis sembari mengambil cup es krimku kemudian memakan isinya. "Buruan sana! Nanti dicariin."

Sudah bisa ditebak, meski akhirnya beranjak, Milly mengomel panjang pada rekan satu bagiannya ini. Aku hanya menggelengkan kepala karena tingkah Yudhis yang selalu semena-mena pada Milly. Paham sekali kekesalan Milly, karena hal itu tidak jarang dia lakukan juga padaku. Yah, walaupun jika dibanding Milly, aku merupakan lawan seimbang bagi Yudhis karena kami sama-sama suka seenaknya.

DD/Where stories live. Discover now