Rumah

349 66 16
                                    

You're my sun you're my rain
You're the twinkle in my eye
Oh I wish I found you sooner
So that I, I can love you longer
.
.
Raisa - Love You Longer
.
.
.
.
.
.
"Radinka!"

Aku disambut pekikan tertahan Milly ketika baru saja menutup pintu ruang dokter di trauma centre. Selesai jaga pagi IGD, aku 'dipaksa' datang ke trauma centre oleh Milly yang juga selesai jaga pagi di sana, dan Grace yang melanjutkan di shift siang. Apalagi alasannya kalau bukan foto kiriman Yudhis yang membuat heboh grup kami.

Meski foto itu hanya bertahan beberapa menit, karena aku benar-benar marah pada Yudhis, tapi semua sahabat kami sudah terlanjur melihat. Kami sempat berdebat alot kemarin. Karena bagiku, itu bukan cara memberitahu yang benar. Kami memang sepakat mengumumkan kedekatan kami, tapi tiba-tiba mengirim foto di grup, menurutku kekanakan. Sedang Yudhis, merasa kalau yang dia lakukan hanya menyesuaikan dengan momen yang kebetulan pas untuk membicarakan hubungan kami.

Aku paham, fokus Yudhis adalah Gandhi. Dibanding semua sahabat atau teman-teman yang tahu hubunganku dengan Gandhi, tentu saja Yudhis ingin Gandhi juga tahu hubungan baru kami. Dan satu-satunya ruangan yang bisa dijangkaunya untuk membuat Gandhi tahu adalah grup chat kami, mengingat posisi Gandhi di luar negeri. Tapi bagiku, itu berlebihan.

Perdebatan kami berujung buntu, berakhir dengan aku yang mogok bicara. Cara yang hampir selalu berhasil membuat Yudhis si keras kepala mengalah. Dia pun segera menghapus foto kami tanpa penjelasan. Sehingga aku lah yang bertanggung jawab memberi penjelasan pada Milly yang sudah terlanjur penasaran.

"Bilang sama aku kalo itu foto editan!" Milly berseru setelah aku duduk di sebelahnya, sebuah sofa panjang yang juga ada di IGD dan biasa kami gunakan untuk beristirahat sejenak ketika kesibukan mengurus pasien mereda. "Kamu nggak beneran pelukan sama Yudhis kan?"

"Enggak, itu angle-nya aja yang bikin keliatan pelukan." balasku, seketika membuat Milly mendesah lega.

"Udah aku duga! Ngada-ngada pasti dia, mana ada kamu mau sama dia. Maksudnya Yudhis apa sih? Dia tuh deketin kamu?" cecarnya.

Aku meringis bingung. Di foto itu memang kami terlihat dekat, tapi sebenarnya hanya efek kamera. Yudhis memintaku mendekat, kemudian tanpa aba-aba dia mengambil gambar. Yang kemudian nampak seperti aku sedang bersandar di bahunya dan memeluknya. Karena itu juga aku memarahinya. Tapi pesan yang ditulis Yudhis tidak salah, meski fotonya manipulatif.

Aku melirik Grace yang sejak tadi tidak bersuara di balik tumpukan medrek, tapi jelas sekali kalau dia ikut menelitiku. Padanya, aku tahu tidak perlu banyak berkata, karena saat ini pun aku merasa dia sudah tahu.

"Iya, dia bilang mau.. punya hubungan serius sama aku." jelasku.

"What?! Kok dia jahat gitu sih?" Milly masih menampilkan raut tidak suka.

"Kok jahat?" itu Grace yang bersuara, tapi menyuarakan isi kepalaku juga.

"Ya gimana enggak, dia deketin kamu yang baru aja putus dari Gandhi. Gandhi itu sahabat kita loh!" ucapnya berapi-api. Aku sebenarnya agak ngeri kalau suara Milly terdengar hingga ke luar ruangan, karena setahuku ruangan dokter tidak sekedap itu.

Aku mengusap punggungnya dengan ringisan, berusaha menenangkan sebelum berkata lagi.

"Mau denger ceritaku dulu nggak?" kataku hati-hati. Milly mengerut waspada meski akhirnya mengangguk juga. Aku melirik Grace, memastikan dia juga menyimak sebelum mulai bercerita. "Kalian tau kan Yudhis temenku dari kecil?"

Selanjutnya, mau tidak mau aku menceritakan hubungan kami ketika SMA. Mulai dari ketika Yudhis memintaku menjadi pacarnya, penolakanku, hingga kesungguhannya setelah aku putus dengan Gandhi yang membuatku akhirnya menerima permintaannya. Hanya sampai situ. Karena tentu saja aku tidak mungkin menjelaskan detail kesepakatan kami. Terlalu banyak pembahasan dalam kesepakatan kami, dan mungkin tidak semua orang bisa mengerti.

DD/Where stories live. Discover now