Tembakan Tepat Sasaran

328 60 3
                                    

Kecil hanya sekali
Muda hanya sekali
Tua hanya sekali
Hiduplah kini
.
.
Tulus - Satu Kali
.
.
.
.
.
.
Aku menahan keinginan kuat untuk berlari sekencang mungkin di lorong rumah sakit ini. Meski panik setengah mati, aku tidak boleh membahayakan pengunjung lain yang juga berada di sini. Namun akibatnya, ruang ICU yang terasa jauh sekali ini sekarang membuatku ingin menangis. Karena Papi berada di sana.

Kupikir, beberapa hari mengeluh tidak enak badan, Papi hanya sakit biasa. Kelelahan atau flu like syndrom dan sejenisnya. Aku percaya saja, karena Papi juga Mami yang menjaganya adalah seorang dokter. Bertemu di kamarnya pun Papi masih bisa berkelakar seperti biasa. Jadi ketika mendapat kabar dari Yudhis kalau Papi sedang dipantau di ICU, aku seketika panik. Bahkan, Yudhis yang tidak biasanya berbicara lembut, tidak mampu menenangkanku.

Yudhis menjemputku yang selesai jaga IGD. Entah bagaimana caranya, dia bisa lebih dulu tahu kabar itu. Dan sekarang, dia berjalan dengan tenang di sampingku dengan ponsel yang berulangkali dilihatnya.

"Di," Langkahku terhenti karena Yudhis menahanku. "Om udah pindah ke Pramana Room." Yudhis mengabarkan.

"Kamu dikabarin siapa sih, Dhis?" Meski heran, aku mengikutinya mengubah tujuan kami yang sekarang menuju ruang rawat khusus keluarga Pramana.

"Tante Mila tau kamu pasti panik, jadi beliau ngehubungin aku. Om nggak apa-apa kok. Tadi pagi sempat dispnea, terus ada aritmia, jadi dibawa ke ICU dulu. Habis observasi beberapa jam, Dokter Farhan bilang nggak apa-apa."

"Dari pagi?" kataku tidak percaya. Bagaimana bisa Mami tidak mengabariku sementara Yudhis tau.

"Diandra, Tante Mila nggak mau kamu panik. Kamu lagi kerja, kebetulan aku nggak jaga. Nggak usah mikir aneh-aneh." Yudhis seolah mampu membaca raut kesalku.

Setelahnya kami berjalan dalam diam. Aku berusaha menenangkan diri sebelum bertemu Mami dan Papi, jangan sampai kepanikanku membuatku melakukan hal yang merugikan. Kalau Dokter Farhan, Spesialis Jantung Paru di rumah sakit kami, mengatakan Papi baik-baik saja, aku berusaha percaya.

"Eh? Sore Dokter Didi, Dokter Yudhis. Mau ke Dokter Andra ya? Di Pramana 1 ya, tadi lagi ganti baju sama Dokter Mila." seorang perawat menyapa sesaat sebelum kami sampai ruangan.

Aku berterima kasih padanya kemudian segera menuju kamar yang dimaksud. Pintu kamar sedikit terbuka sehingga aku bisa langsung masuk dan mendapati ranjang pasien tertutup tirai. Sesuai kata perawat tadi, sepertinya Papi memang sedang berganti baju. Aku ingin menyapa, namun urung ketika mendengar percakapan mereka.

"Mas dengar kan yang Farhan bilang, nggak usah terlalu mikirin anak-anak." Itu suara Mami.

"Farhan nggak tau rasanya punya anak tunggal, anak dia banyak." Papi bersuara lirih, meski aku bisa menangkap nada kesalnya.

"Karena anaknya banyak, dia lebih berpengalaman dong, Mas. Tapi poinnya kan bukan itu. Tiap anak punya takdirnya masing-masing, kita nggak perlu khawatir sama apapun jalan hidupnya. Lagian Didi itu masih muda, cantik, pintar, sopan, Mami yakin nggak akan sulit buat dia ketemu pasangan."

Aku berhenti melangkah ketika namaku disebut. Apakah ini masih ada hubungannya dengan obrolan Papi dan Mami malam itu? Aku menoleh pada Yudhis yang ikut berhenti di sampingku. Dia juga tidak bersuara, sepertinya sama-sama menyimak obrolan keduanya.

"Aku yang udah nggak muda, Azalea." Hatiku seperti diremas ketika mendengar nada frustasi Papi, kekhawatiran yang juga aku tangkap di malam itu. "Aku takut nggak punya banyak waktu buat betul-betul kenal sebelum mengizinkan seorang lelaki menemani hidup Didi. Aku pikir selama ini aja cukup buat mengenal Gandhi, nyatanya enggak."

DD/Where stories live. Discover now