BAB 6: Rasa Yang Sama

12 2 0
                                    


TUHAN tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya, dan Tuhan juga tahu mana jalan yang terbaik untuk dihadapi setiap hamba-Nya. Seperti didaur ulang, hati manusia kadang berubah tidak menentu. Seperti rasa yang datang, kemudian pergi, datang lagi, pun pergi lagi. Rasa yang seperti ini memang cukup membuat hidup sedikit lelah. Tidak punya rasa, hidup tidak berwarna. Sudah berwarna, tetapi tidak punya rasa.

Nala tidak pernah tahu jika akan sesulit ini menghadapi rasa yang tidak berwarna. Setiap detik, isi kepalanya penuh dengan berbagai perspektif dan validasi dari otak juga dirinya. Kadang ia berpikir kenapa hanya ia seorang yang memusingkan segala masalah dan tidak bisa menyelesaikannya.

Gadis itu memegang amplop putih di tangannya. Ia termenung, duduk lesu di tepian kasurnya. Meratapi jalannya yang tidak lurus, dan ia takut setelah ini tidak akan bisa bertemu dengan siapa-siapa lagi.

“Huh.” Helaan napas panjang terdengar jelas, gadis itu menatap isi amplop dengan lesu. Kemudian, menutupnya lagi dan berusaha menenangkan diri. “Gaji guru honorer memang nggak seberapa. Nggak cukup juga buat bayar apartemen.”

Tetapi Nala tetap bersyukur. “Maaf, ya, Tuhan. Dibilang cukup nggak juga, dibilang kurang juga iya. Kenapa keuangan makin hari makin menipis ya?”

Belum lagi ia harus membayar SPP kedua adiknya. Rasa-rasanya, kepala Nala ingin pecah. Sebenarnya ini bukan tanggung jawabnya, hanya saja Nala tidak tega jika harus melihat Bapak lelah seharian bekerja di kebun. Apalagi terik sinar matahari sekarang-sekarang ini cukup menyengat kulit. Lebih panas dari biasanya. Untuk Mama, Nala tidak ingin melihat Mama terus bersedih setiap hari. Bagaimana pun caranya, Nala harus bisa menjadi anak yang mandiri dan dapat dipercaya.

“Belum lagi masalah yang lain. Kenapa datangnya keroyokan sih?”

Ting!

Satu notifikasi masuk dari WhatsApp. Itu adalah—Hasby Nagasakti, laki-laki yang membuat Nala pusing.

Hasby

La, bisa kirimin aku uang dulu 500k? Hari ini tenggat aku bayar kontrakan.

Ini juga membuatnya pusing.

Apa yang harus ia lakukan? Tidak ada pilihan lain, Nala tidak ingin membalas pesan laki-laki itu. Uangnya saja yang kemarin belum ia ganti, sekarang Hasby mau meminjam lagi? Yang benar saja! Apakah laki-laki itu tidak malu sama sekali?

La, kok nggak bales chat aku? Kamu online loh!

Nala muak. Rasanya ingin mengakhiri semuanya saja. Apakah bisa ia melakukannya?

Ok kalau nggak mau bantu aku.

Gadis itu ingin berteriak rasanya.

Apa?

Aku nggak punya uang, By.

Bukannya kamu baru gajian ya?

Iya, tapi uangnya dipake buat bayar SPP adik aku. Udah abis, By.

Jangan bohong, kamu. Pelit banget kamu, La.

Bodo amat. Rasanya Nala ingin mengucapkan itu. Sekarang terserah maunya apa. Nala sudah lelah, ia hanya ingin tenang saat ini. Intinya laki-laki tidak modal itu ingin menguras materinya lagi. Kali ini Nala tidak akan mau ditipu dan dibodohi lagi.

Namun, terkadang Nala luluh dengan ucapan manis, dan janji busuknya itu. Kenapa hampir semua perempuan selalu bodoh dalam hal cinta? Kadang mereka lemah dengan bujuk rayuan, kadang lemah ketika diancam ini itu, dan pasti mereka selalu menuruti semua kemauan pacarnya. Right?

“GUE CAPEK! KENAPA HARUS GUE SIH, TUHAN?”

***

Semilir angin sore ini menyapu bersih tangis Nala yang berhamburan. Telah berhasil meyakinkan gadis itu untuk selalu kuat dan ikhlas dalam hal apa pun. Ia masih setia melihat langit yang mulai kejinggaan, Nala tersenyum, berharap setelah ini ada keajaiban. Seolah hidup sudah didramatisir, ia hanya bisa mengikuti alur dengan bertahan, bertahan, dan terus bertahan.

“Ternyata lo di sini.” Ucapan itu  membuat Nala membalikkan tubuhnya.

Laki-laki tampan berdiri menatapnya dengan serius tanpa ekspresi. Kemudian melangkah maju menghampirinya yang berada di tepi jalan.

“Huh.” Pram menghela napas panjang. Laki-laki itu mendaratkan bokongnya di kursi panjang yang telah tersedia. Matanya tidak beralih menatap Nala yang masih berdiri tegap entah menunggu apa.

“Duduk sini, La.”

Gadis itu membalikkan tubuhnya, ia menurut dan menghampiri Pram. Wajahnya tidak berekspresi, matanya kosong. Nala sedang tidak bergairah untuk menjalani hidup. Padahal ... ia sudah berjanji akan menjadi manusia yang kuat.

Melihat tatapan intimidasi dari Pram membuatnya menunduk takut. “Iya, maafin gue. Lo nggak perlu datang ke sini kalau memang ngerasa keganggu. Lo boleh Pram.”

“Lo ngusir gue? Lo nggak ngehargain gue banget yang udah nyari lo ke sana kemari?!” Pram sedikit menaikkan suaranya. “Sori ... La. Gue, nggak bermaksud.”

Ia yang kesal, ia pula yang meminta maaf. Pram benar-benar tidak bisa melihat Nala sedih. Saat mengatakan itu, Nala menjauh. Gadis itu ketakutan karenanya.

“La? Maafin gue ya?”

Pram menghampiri Nala dan memeluknya. Ia tidak pernah melihat gadis itu sefrustrasi ini. Ia terluka melihatnya seperti ini. Pram sangat tidak bisa. “Lain kali, kalau mau jalan jangan lupa chat gue ya? Biar gue anterin lo ke mana pun. Gue jabanin sampai ke ujung dunia pun! Suwer deh!”

Nala makin menangis, ia merasa Pram terlalu baik kepadanya. Ia merasa tidak berguna sebagai sahabatnya, dan ia juga merasa beban di hidup laki-laki itu. Nala ingin pergi saja dari sini, ia tidak ingin merepotkan siapa pun, apalagi Pram. Laki-laki itu sudah banyak membantunya.

“Nggak usah minta maaf, Pram. Maafin gue ya? Tapi gue ngerasa lo terlalu baik banget sama gue. Bisa nggak jangan baik-baik sama gue?”

Takutnya gue malah nyaman sama lo, Pram.

“La? Ngomong apaan sih? Percaya sama gue! Gue nggak bakal ninggalin lo sampai kapan pun. Lo inget janji gue, kan?” Gadis itu mengangguk. “Kalau ada apa-apa jangan dipendem sendiri, bagi cerita sama luka Lo ke gue. Gue bakal jadi pendengar yang baik.”

Rasanya Nala ingin menangis lagi, kenapa harus Pram yang berbicara seperti itu? Kenapa tidak Hasby saja? Nala merasa terpojokkan oleh dunia sekarang. Semua yang diharapkan tidak pernah Tuhan kabulkan. Hanya satu saja harapan Nala saat ini, Pram tidak akan pernah membenci dirinya.

“Maaf, Pram.”

“La? Lihat mata gue.” Laki-laki itu menangkup wajah Nala. Mata mereka bertemu, dan saling menatap satu sama lain. Pram merasakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Kali ini, Nala ikut menatapnya dengan dalam. Tatapan teduhnya itu seketika menyihir dan membuat dirinya tidak bisa berpaling.

I love you with all the feelings I have. I have a love that you can have with your heart. But unfortunately, you never saw me from any side. Pram tidak pernah meminta apa pun selain berharap kepada Tuhan untuk selalu bersama dan menjaga gadis itu.

All of our lives are already arranged, God. However, there's no harm in changing that destiny, right?  Sekarang, Pram hanya ingin terus melihat Nala bahagia setiap harinya. Ia ikut bahagia jika gadis itu menemukan kebahagiaannya.

 
***

Sulawesi Tengah, 22 Februari 2024

Author Buluk.
 

Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang