BAB 3: Kisah Yang Tak Sama

17 4 8
                                    

SEMUA orang sudah keluar dari ruangan rapat, kini menyisakan Pram bersama Rangga dalam keheningan. Kakak sepupunya itu lantas mengibaskan tangannya ketika melihat Pram yang melamun setelah rapat berakhir. Apa yang laki-laki itu pikirkan?

Rangga menepuk pundak adiknya pelan, kemudian duduk di sebelahnya. “Ada apa?” Pertanyaan Rangga membuat Pram sadar. “Soal Nala lagi?” Laki-laki itu langsung terperangah.

Bagaimana kakaknya itu tahu?

“Bukan,” kilahnya. Iya, Bang.

“Kalau suka bilang! jangan kayak gini. Nanti lo malah sakit hati lagi. Jangan nunggu dia peka, Pram. Kelamaan, kalau dia digondol orang lain gimana?”

Pram mendesah. “Nala udah punya Hasby.”

Rangga mengernyitkan kening. “Hasby? Oh, yang waktu itu nganterin Nala ke sini ya?” Pram mengangguk. “Ah, biasa aja. Malah kalau kata gue masih cakepan lo.”

“Ah apaan sih! Diem bisa nggak, Bang?” Rangga merotasikan bola matanya. “Eh, tunggu!”

Rangga yang hendak pergi terpaksa membalikkan badannya. “Apa?” Ia kembali duduk.

“Dulu pas lo tembak Kak Jihan gimana?”

Laki-laki itu diam beberapa saat, kemudian menatap Pram dengan senyuman jahil. Rangga membisikan sesuatu ke telinga Pram. “Gimana?”
“Nggak! Wah, parah! Lo bisa-bisanya, Bang!”

Rangga tertawa puas. Biarkan saja adiknya itu terus merasakan perasaan yang tidak terbalaskan. “Terserah lo, deh. Yang penting gue udah kasih tips-nya sama lo. Gue cabut dulu kalau gitu, masih ada naskah yang harus gue proof.”

Setelah Rangga meninggalkan ruangan, Pram kembali mengingat kata demi kata yang diucapkan oleh kakaknya itu. “ARGH! Apa iya harus kayak gitu?”

“Nanti gue dicap jadi perebut cewek orang lagi? Eh, tapikan mereka belum nikah? Gue masih ada harapan dong? IYA! GUE MASIH ADA HARAPAN!”
Senyum puas tercetak jelas di wajah laki-laki itu. Apa sebenarnya yang diucapkan Rangga kepadanya? Ada yang penasaran?

“Oke balik kerja!”

***

Menginjak usia dua puluh tahun memang sangat tidak mudah. Hiruk pikuk dunia pun sudah dirasakan oleh remaja yang sekarang beranjak dewasa. Hal yang paling menyakitkan pun dirasakan oleh Nala ketika ia terpaksa jauh dari keluarganya. Ya, Nala kadang rindu dengan mama. Rindu dengan adik kecilnya, juga rindu dengan bapak yang selalu mengelus rambutnya ketika dahulu ia tertidur. Nala rindu semuanya. Sayang, semua itu tidak bisa ia ulang kembali. Mengingat, hari ini ia sudah tumbuh menjadi gadis pemberani dan sangat kuat.

Di usianya yang baru menginjak dua puluh dua tahun ini, Nala harus berjuang keras untuk mencukupi kebutuhannya dan membantu perekonomian keluarganya. Selepas kuliah, Nala akan mengajar di sebuah sekolah menengah atas kemudian bekerja di Coffee Shop untuk tambah-tambah uang sakunya. Semuanya ia lakukan dengan ikhlas dan berharap akan menjadi berkah di hidupnya.

Seperti sekarang, Hasby sudah menunggunya di parkiran dan akan mengantarkannya menuju sekolah tempat Nala mengajar. Sebenarnya Hasby sangat baik, tetapi kadang kala sikap posesif dan ketidakpedulian sering membuat Nala muak.

Rumah Untuk Nala ✓Where stories live. Discover now