BAB 4: De Javu

11 3 0
                                    

PRAM cukup malas untuk beraktivitas pagi ini. Untungnya hari ini weekend, lebih tepatnya hari Minggu yang ingin laki-laki itu isi dengan rebahan seharian di apartemen. Namun sayang, rencananya harus gagal karena tepat pukul 10 pagi ini, ia harus pergi ke acara keluarganya. Hal inilah yang paling ia hindari, karena Pram cukup malas jika harus bertatap muka dengan keluarganya yang sangat julid. Kalian pernah nggak sih, digibahin satu keluarga? Di depan mata kepala sendiri? Rasanya sangat mantap. Perlu beberapa bulan untuk Pram menyembuhkan dirinya dan bisa menampakkan diri di hadapan semua orang.

“Apalagi si tukang nyinyir itu. Males banget gue kalau ketemu sama dia!” Ia masih merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memainkan ponsel.

“Gue masih inget kejadian lima tahun lalu. Dan gue nggak bakal lupain itu!”

Akhirnya ia duduk di tepi kasur, mengumpulkan niatnya untuk melangkahkan kaki ke dalam kamar mandi. Tiba-tiba ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas, kemudian membuka aplikasi WhatsApp dan mencari satu nama. Nala. Pram menghubunginya.

Arunala

La, lo hari ini free, kan? Mau ikut gue nggak?


Belum ada jawaban, Pram menunggu Nala membalas pesannya. “Kebiasan deh ni anak. Giliran gue yang chat lama banget balesnya!”

Kenapa Pram? Lo mau ngajak gue pergi?

 

Iya. Ikut gue ke acara keluarga gue yuk! Gue males dateng sendirian

Lo, tahu, kan gimana gue sama mereka?


Nala tidak membalas pesannya lagi. Pram mengembuskan napasnya kasar. “Bilang aja lo mau jalan sama si berengsek itu. Iya, kan? Bener nggak tebakan gue?” Pram berbicara dengan ponselnya seperti orang gila. Laki-laki itu tidak ingin melewatkan waktunya. Ia bergegas masuk ke kamar mandi.

Ting nong! Ting nong!

Tiba-tiba terdengar suara bel yang begitu nyaring,  karena gemercik suara air shower laki-laki itu tidak mendengarnya. Pram sedang menikmati mandinya dengan khidmat.

Nala yang menunggu di luar mulai kesal karena laki-laki itu tidak membukakan pintu. Kemudian ia memasukkan sandi apartemen sahabatnya itu, kemudian melenggang masuk begitu saja. Kurang ajar memang, tetapi ini sudah sering ia lakukan. Pram pun selalu melakukan hal yang sama ketika ada situasi yang mendesak. Tetapi kali ini Nala ... sedikit tidak sopan?

Saat menolehkan kepalanya ke kanan, gadis itu melihat pemandangan yang sangat memalukan. “ARGH!” teriak Pram dan Nala bersamaan.

“LO KENAPA NGGAK PAKE BAJU ANJIR?” ucap Nala sembari menutup kedua matanya.

“Heh, lo nggak sopan masuk kamar orang sembarangan. Untuk gue pake handuk, kalau pake—”

“Jangan diperjelas anjir! Udah sana pake baju!”

Pram mengembuskan napasnya, ia harus selalu sabar bila menghadapi gadis itu. “Lo udah pergi, kan?” Tidak ada jawaban, akhirnya Nala membuka matanya.

“Edan emang tuh anak!” Ia berjalan menuju dapur mengecek kulkas milik laki-laki itu. Matanya terperangah melihat isi kulkas yang penuh. “Lengkap amat, nih anak belanja kapan ya? Kok nggak ngajak gue!” Nala mengambil sebotol teh kotak dingin, lalu meminumnya.

Jika dilihat, dapur laki-laki ini cukup rapi dan bersih. Tidak seperti kebanyakan laki-laki yang biasanya sangat jorok. Jika dilihat, isi lemarinya pun sangat rapi dan wangi. Koleksi sepatu dan jaketnya tertata dengan baik dan sangat enak di pandang oleh mata.

“Ngapain lo di sini?” Suara itu mengejutkan dirinya.

“Lo ngagetin gue anjir!” Nala mengusap dadanya. Gadis itu diam ketika melihat penampilan Pram yang sungguh berbeda dari biasanya. Rambutnya dibelah dua, memakai kemeja putih dan kancing atasnya sengaja dibuka, memakai jam tangan di tangan kirinya, jeans hitam yang sedikit ketat, juga sepatu kets putih yang senada dengan penampilannya. Gadis itu dibuat takjub dengan wujud laki-laki bernama Pramoedya Aliandra.

“Woi? Lo kenapa?” Pram bertanya, tetapi Nala tidak menyahut. “Gue tahu kalau gue ini ganteng. Jangan ditatap mulu, nanti lo naksir gue. Gue nggak bakal tanggung jawab!” ejeknya, kemudian laki-laki itu tertawa dengan keras.

Nala yang sadar langsung memalingkan wajahnya. Pipinya merona, merah padam. Gadis itu menahan rasa malunya. Atau mungkin ... salting?

“DIEM LO! SIAPA JUGA YANG NAKSIR SAMA LO! NGGAK AKAN PERNAH!”

Pram tersenyum, ia sedikit tersentil dengan ucapan gadis itu. Iya, La. Nggak apa-apa. Biar gue aja yang suka sama lo. Ya, Pram tidak akan pernah memaksa gadis itu untuk mencintainya. Apalagi memaksakan kehendaknya sendiri, Pram bukan laki-laki seperti itu.

Sadar dengan kecanggungan yang terjadi, Nala mencairkan keheningan. “Ya udah ayo! Gue duluan keluar ya.” Gadis itu buru-buru keluar dan merutuki tingkahnya yang memalukan.

“Malu gue! Malu banget sumpah! Huaaaaaa!” Mendengar suara pintu, Nala mencoba menetralkan dirinya, berusaha bersikap semuanya baik-baik saja.

Mereka berjalan ke arah lift menuju basement mengambil mobil milik Pram. Setelah memastikan Nala sudah naik, laki-laki itu menghidupkan mesinnya dan berjalan ke luar dari area basement. Pram memperhatikan tingkah aneh gadis itu, ia merasa Nala menjadi pendiam setelah kejadian tadi. Ia juga melihat wajah Nala yang merah seperti kepiting rebus, dan ia yakin kalau gadis itu sedang menahan malu.

***

Mobil Pram memasuki kediaman keluarga Aliandra. Rumah—milik neneknya. Hari ini akan diadakan acara pertunangan sepupunya yang bernama Shintia Aliandra. Parkiran sudah dipenuhi oleh mobil-mobil tamu undangan, dan sepertinya acara ini memang bukan sekadar pertunangan biasa. Mungkin ada acara lain yang sengaja diadakan secara bersama.

Nala yang turun dari mobil melihat wajah keraguan milik Pram. Ia paham dengan situasi dan kondisi keluarga laki-laki itu, ia juga sangat prihatin dengan apa yang sudah menimpa Pram beberapa bulan ini.

“Ayo masuk, La,” ajak Pram.

Nala mengangguk. Ia akan selalu ada di samping Pram bagaimana pun keadaan di dalam nanti. Ia sudah yakin akan ada sebuah kejutan yang menunggu.

Mereka disambut oleh seorang anak laki-laki kurang lebih berusia 10 tahun. Namanya Giandra—sepupu Pram, dan merupakan anak dari adik ayahnya.

Yeay, Bang Pram datang! Ayo masuk!”

Dengan riang Giandra menuntun mereka berdua masuk. Tatapan pertama Pram jatuh kepada beberapa pasang mata yang melihatnya aneh. Ia sebenarnya tidak memedulikan itu, dan ia juga sudah memprediksi ini akan terjadi.

“Jangan ditatap balik, Pram! Ayo ketemu nenek lo!” bisik Nala.

Mau tidak mau Pram harus memasang wajah tebalnya dan menahan rasa kesal yang membuncah di dada. “Sabar.”

Assalamualaikum, Nek,” sapa laki-laki itu dengan sopan. Tidak lupa menyalami tangan wanita paruh baya itu disusul Nala setelahnya.

Waalaikumsalam. Akhirnya yang ditunggu, Nenek udah nungguin kamu, Pram.” Matanya beralih kepada Nala. “Aduh Neng Geulis ikut juga ternyata. Sehat, Neng?” tanya Nenek sembari menatap Nala.

“Iya, Nek. Nenek gimana kabarnya? Sehat?”

Baru saja ingin menjawab, seseorang datang dan memotong ucapan Nala.

“PRAMOEDYA?”

Mata laki-laki itu membulat sempurna, ia langsung membuang wajahnya ke sembarang arah. Tatapannya menjadi sedikit berbeda. Siapakah orang yang memanggil nama laki-laki itu?

***

Sulawesi Tengah, 19 Februari 2024

Author Buluk




Rumah Untuk Nala ✓Where stories live. Discover now