04

49 22 5
                                    

Happy Reading!!

Sekarang Malika dalam perjalanan menuju rumah Ola. Seperti yang ia katakan tadi, ia akan menjenguk sang sahabat. Malika turun dari mobil yang berhenti tepat didepan rumah bernuansa putih. Langkah kaki Malika mulai berjalan maju mendekati rumah tersebut.

Tok.. tok.. tok..

"Assalamu'alaikum," ucap Malika didepan pintu.

Suara kunci yang diputar dari dalam terdengar ditelinga Malika. Menandakan bahwa pintu akan segera dibuka. "Siapa, ya?" Ucap wanita paruh baya dengan daster serta celemek. "Saya Malika, Tante. Ola nya ada?" Ucap Malika memperkenalkan diri pada wanita didepannya.

"Oh, kamu temennya Ola? Masuk-masuk," ucap wanita tersebut mempersilahkan Malika untuk masuk kedalam rumah.

Malika melangkahkan kaki masuk kedalam, duduk pada sofa yang tersedia disana. "Sebentar, ya. Tante panggilkan Ola nya," ucap wanita tersebut yang seperti nya adalah orang tua Ola. Tak lama kemudian, Ola menghampiri Malika yang sedari 5 menit yang lalu menunggu.

"Lo kok gak bilang, sih?" Tanya Ola lalu duduk disamping Malika.

"Hehe, gue mau ngasih surprise," ucap Malika dengan cengiran kuda.

"Surprise apaan?" Tanya Ola pada Malika.

Malika memutar bola matanya karena lelucon yang ia berikan tak masuk kedalam otak Ola yang sempit. "Gak papa," ucap Malika singkat yang membuat Ola menepuk pundaknya. "Sakit, La!" Ucap Malika meringis. "Lagian lo kagak ngasih tau gue," ucap Ola kesal pada sang sahabat. Lagi-lagi Malika memutar bola matanya melihat temannya yang jaringannya E.

"Eh lo tau gak, sih?" Ucap Malika dengan nada julid.

"Apaan?" Tanya Ola penasaran.

"Tadi, lo kan gak masuk. Nah, tiba-tiba ada cowok yang nyamperin gue pas gue makan di kantin sendirian. Cowok ini emang sebelum nyamperin gue sempet liatin gue terus," ucap Malika menceritakan perihal dirinya yang bertemu Tio tadi.

"Siapa?" Tanya Ola.

"Namanya Tio, katanya."

"Lah, dia mah sering liatin lo dari kita baru masuk sekolah," jelas Ola yang membuat Malika melongo.

"Terus-terus, tadi dia nge-chat gue, karena gue ini cewek yang cool jadi gue blokir nomornya," jelas Malika dengan nada sombongnya.

"Dih? Bangga lo? Yang ada lo stres," Ola menoyor kepala Malika.

"Mau sampai kapan, sih, lo gak mau nerima orang baru?" Ucap Ola.

"Dunia ini luas, Lika. Lo juga pantes buat bahagia, lagian gak ada salahnya lo ngasih kesempatan. Kalo lo nurutin rasa gamon lo ke si brengsek itu, harga diri lo yang jadi korban. Dia enak seneng-seneng sama cewek barunya, sedangkan lo? Lo kayak orang gila ngemis-ngemis ke dia buat balik lagi. Cowok masih banyak, lo juga cantik, dan lo worth it buat bahagia," lanjut Ola yang membuat Malika diam.

Ada benarnya perkataan Ola barusan. Malika terlalu larut dalam mencintai masa lalunya, hingga untuk menerima orang baru, ia merasa sulit. Padahal, jika dirinya mau berusaha, semua akan dia dapat. Malika mencerna ucapan Ola dengan menundukkan kepala menatap lantai.

"Maaf, tapi gak ada yang bisa gantiin Rangga di hidup gue, mau se sayang apapun gue sama orang baru, kalo gue disakitin sama orang baru, pasti gue gamon nya ke Rangga," jelas Malika masih menunduk. Ola menepuk pundak Malika.

"Lo pasti bisa! Gue yakin itu," ucap Ola meyakinkan Malika. Malika tersenyum pada Ola dan mengucapkan terimakasih.

"Oh, iya! Besok ada tugas kelompok, disuruh bawa kanvas sama cat akrilik buat pelajaran seni budaya, jangan lupa, BESOK LO HARUS SEKOLAH!!" Ucap Malika menekan akhir kalimat ucapannya. Ola hanya mengangguk mengiyakan ucapan Malika.

*****

Hari ini Malika sedang berada di dalam kelas. Bukan buku-buku yang ada didepannya, namun sebuah alat lukis. Malika mendengarkan dengan seksama penjelasan guru seni budayanya. Ia disuruh melukis sebuah pemandangan tanpa melihat referensi apapun, melainkan harus dari pikirannya sendiri.

Malika mulai membuat sketsa dari lukisannya. Sebuah dua gunung dan danau. Malika menuangkan setiap warna pada sketsa yang sudah ia buat, ia membuat sebuah siluet gunung serta laut yang biru, tak lupa sunrise yang cantik.

"Ih! Bagus banget, Ka!" Puji Ola setelah melirik karya Malika. Malika hanya tersenyum dan mengumpulkan lukisannya.

"Bu, Ini," ucap Malika menunjukkan hasil karyanya pada Bu Tamah.

"Ini apa Malika? Kok kayak lukisan anak kecil, gunung terus siluet, anak SD juga bisa buat seperti ini, Malika. Liat ini punya teman kamu, detail-detailnya kelihatan semuanya. Kalo gini saya kasih nilai 80, aja. Kayak anak kecil, aja. Baru kalo kayak temen mu ini ibu kasih 90 keatas, cantik, kan," jelas Bu Tamah. Bu Tamah menganggap lukisan Malika seperti lukisan anak Sekolah Dasar, padahal Malika sudah bekerja sekuat tenaga. 10 tahun Malika sekolah, tapi baru kali ini karyanya dinilai jelek oleh guru.

Malika hanya diam, tersenyum pada Bu Tamah yang menuliskan nilai pada kolom namanya. "Padahal aku udah nyoba," ucap Malika dalam hati.

"Ini kamu bawa, aja. Saya gak mau bawa,"

Deg...

Jantung Malika berdegup kencang, benar-benar tak seperti biasanya. Ini kali pertama seorang Malika Sanara tak dihargai oleh seorang guru. Malika mengambil lukisannya dan duduk pada bangkunya. Malika hanya diam menahan air mata yang sudah di pelupuk mata dan hampir jatuh membasahi pipinya.

"Ngapain, lo ba- NGAPAIN NANGIS, ANJ*NG?" Ucap Ola yang kaget melihat sang sahabat yang sudah menangis.

Malika menutup mulut Ola agar tak bersuara, "jangan berisik," ucap Malika menahan tangisannya. "Kenapa?" Tanya Ola sedikit berbisik. Malika tak bisa menjawab pertanyaan Ola, ia semakin menangis. Tak dapat ia jelaskan bagaimana sakitnya tak dihargai, "sejahat-jahatnya guru SMP gue, gue gak pernah ngerasain yang kayak gini," ucap Malika pelan namun masih bisa didengar Ola.

Malika mulai menjelaskan apa yang terjadi baru saja dengan posisinya yang merunduk serta air mata yang masih mengalir. Ola mendengarkan penjelasan Malika, dengan kesulitan ia mencoba mendengar dengan jelas ucapan Malika.

"Kurang ajar tuh guru," ucap Ola.

"Udah, La, bi-biarin," ucap Malika terbata-bata.

Ola menuruti ucapan Malika, padahal dalam hatinya ingin mencaci maki guru tersebut. Bagaimana bisa lukisan seindah itu dinilai jelek. "buta mata lo emang, Tamah!" Umpat Ola yang masih didengar oleh Malika. "Mulut lo dijaga, anj*ng," ucap Malika mencubit paha Ola.

"Udah, Ka. Biarin tuh guru, makanya kagak punya anak, orang modelan kek gitu. Anak yang masuk rahim dia paling udah gumoh duluan liat masa depan mereka," ucap Ola.

"Dijaga mulut lo, gila," ucap Malika, kali ini menoyor Ola.

Ola meringis merasakan sakit kepalanya. Masih tak terima karya seindah itu dibilang jelek. "Kalo punya Lika sebagus ini dibilang jelek, terus punya gue apa? Butiran debu? Stres tuh guru, heran."

"Tanpa alasan, aku gak suka dinasehati didepan orang lain,"
.
.
.
.
.

Instagram: @ssylovely_
Tiktok: @ssylovely_

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya!! Babay >.<

Malika dan Luka [TERBIT]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon