Restu untuk Kesatria Mentari

35 8 1
                                    

Satria perlahan mengusap rambut gadis di sampingnya itu. Acara arisan keluarganya memang sudah selesai sejak tadi. Tugas dari Ibunya untuk membereskan karpet pun sudah selesai.

Ia hendak mengantar Mentari pulang setelah mendapat pesan dari Bintang yang ternyata pulang lebih malam, namun ternyata gadis itu sekarang ketiduran di kamar Satria. Siang tadi setelah berberes, ibunya Satria mengajaknya ke kamar lelaki itu sambil menceritakan masa kecilnya. Wanita itu membuka semua album foto, menceritakan secara detail saat Satria bertumbuh menjadi pemuda seperti saat ini.

Tak lama, ibunya Satria harus menerima telepon, membuat Mentari hanya terfokus pada album-album foto itu. Mungkin karena terlalu lama menunggu, gadis itu tanpa sadar ketiduran.

"Mami tadi nerima telepon dari Nenek eh balik-balik udah tidur. Biarin dulu aja, Aa."

Satria tersenyum sambil menyelimuti gadis itu perlahan, khawatir takut masuk angin karena gadis itu tertidur di daerah yang lumayan terkena AC.

Satria tersenyum sekali lagi sambil mengusap rambut Mentari dengan lembut. Ia kemudian berjalan ke arahnya Ibunya yang kini sudah duduk kembali di meja makan, mengelap piring yang sudah dicuci. Ia mengambil lap bersih lain yang tersedia untuk ikut membantu ibunya.

"Aa, katanya udah ngajak serius si Neng Geulis ya?"

Satria menatap ibunya kemudian mengangguk, "Tapi belum resmi-resmi banget sih Mi ngajaknya,"

"Naha (Kenapa) gitu? Si Eneng belum yakin sama Aa?"

Satria terdiam sendiri. Sebenarnya ia belum pernah benar-benar berbicara soal ini dengan Mentari. Lagipula hubungan mereka juga masih seumur jagung.

"Apa malah Aa yang belum siap?"

Satria menoleh kembali ke arah ibunya, menggeleng, "Kalau belum siap, Satria juga nggak akan ngomongin hal itu atuh, Mi. Tapi kan banyak yang perlu dipikirin. Apa Satria cocok di keluarganya? Atau apakah dia cocok sama keluarga Satria juga. Makanya Satria juga undang hari ini biar dia bisa menilai keluarga Satria seperti ini."

"Aa diterima keluarganya kan?"

"Iya, sejauh ini mereka menyambut Satria dengan hangat, Mi,"

"Kalau gitu sok atuh, belikan cincin. Jangan kalung aja. Apa Mami aja yang beliin?"

"Nggak atuh, Mami. Iya, nanti Satria beli."

Ekspresi Ibunya seakan mendumel, "Kalau Mami lihat, Neng Tari sudah siap. Kamunya yang belum, Aa. Waktu dia cerita dikasih kalung, dia berpikir kalau Aa mau pelan-pelan ngejalanin semuanya."

Mata Satria mendadak membulat, "Dia berpikir begitu?"

Ibunya mengangguk sambil menaruh piring yang sudah kering. Satria mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Satria siap banget, Mi. Tapi dia juga nggak pernah bilang secara gamblang ke Satria sudah siap atau belum,"

Ibunya hanya tersenyum sambil menatap Satria dengan lembut, "Aa, dia menunggu Aa. Perempuan memang begitu,"

"Lagipula, nggak ada kan kumbang yang mengejar bunga? Ini membuktikan kalau dia menghargai setiap keputusan Aa. Makanya dia menunggu."

Satria tenggelam dalam pikirannya. Ia tiba-tiba termenung karena memang selama ini belum benar-benar menanyakan kesiapan perempuan itu untuk menikah dengannya. Selama ini, ia hanya tenggelam dalam asumsinya sendiri. Satria kemudian menghela napas sendiri.

"Mami dengar besok ada syukuran adiknya Mentari yang baru lulus sidang ya? Aa mau datang?"

Satria mengangguk perlahan. Matanya tiba-tiba membulat karena baru saja ide terlintas di kepalanya.

Kesatria Mentari (Completed)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon