Tugas Satria

41 11 1
                                    

Bintang akhirnya menunjukkan hasil rendemen yang bagi dia sih sudah paling maksimal yang bisa dia dapat. Ia bahkan rela begadang, tidak tidur sama sekali demi hasil yang kini datanya sedang dianalisis oleh Satria itu. Tangannya sudah basah sejak tadi oleh keringat dingin, entah karena AC di ruangan yang suhunya disetel begitu rendah atau memang karena mentalnya yang ciut di depan pria di depannya itu.

"Lumayan, lanjut Bab 4 saja,"

Mata Bintang otomatis membulat, "Beneran Pak??? Sudah OK?"

Satria melepas kacamata minus-nya sambil menunjukkan beberapa coretan di draft Bintang, "Iya, cuma ini saja yang perlu dikasih tambahan. Data entropinya mungkin bisa dimasukkin disini kemudian grafiknya bisa dibuat lebih simpel ...,"

Satria sudah menyerocos segitu panjangnya namun yang diajak bicara kayaknya sibuk dengan pikirannya sendiri. Segala keringatnya, usahanya yang sudah berdarah-darah itu selama berbulan-bulan lamanya, akhirnya terbayar juga. Akhirnya ia sampai juga di titik ini. Tiba-tiba bayangannya memakai toga wisuda semakin mendekat.

"Kok bengong?" sahut Satria tiba-tiba sambil memperhatikan wajah Bintang yang sumringah sendiri sejak tadi itu. Yang ditanya langsung tersadar lalu menjawab dengan salah tingkah.

"Seneng Pak soalnya,"

"Jangan senang dulu, ini draft-nya direvisi dahulu,"

"Iya Pak. Tapi sampai tahap ini aja saya udah syukur banget Pak. Ini Ibu kalau tahu saya mau sidang udah siapin tumpeng sama organ tunggal Pak soalnya,"

Satria hampir aja kelepasan ketawa dan lupa dengan titelnya sebagai dosen ketika melihat muka senang Bintang yang tertera jelas di wajahnya.

"Ya harus cepat revisinya. Kejar sidang bulan depan biar bisa tumpengan beneran. Lagipula ini baru pendapat saya seorang, besok baiknya tetap janjian ketemu sama Pak Fajar ya," ujar Satria sambil menyebutkan dosen pembimbing Bintang yang pertama itu.

Bintang sekali lagi mengangguk cepat, "Siap Pak! Nanti saya undang Bapak yaa ke rumah sama Pak Fajar,"

"Iya fokus revisi dulu, minggu depan kembali lagi. Nanti saya juga info ke Pak Fajar," sahutnya sambil melihat kalender meja dan menandainya tanggal di minggu depan sebagai hari Bintang harus kembali lagi dengan revisinya. Tak lupa ia membubuhkan tanda tangan di logbook penelitian Bintang yang mencatat segala perkembangan penelitian dan skripsinya.

"Kalau begitu saya akan buat janji sama Pak Fajar,"

"Besok beliau seharusnya datang Rabuan. Kamu kirim pesan saja ya," sahut Satria kembali sambil mengembalikan logbook anak bimbingnya itu. "Oh iya, saya kemarin ketemu kakakmu. Saya baru tahu kamu adiknya Mentari,"

Bintang tersenyum sumringah, "Saya juga baru tahu Bapak kenal Teteh-- eh Kakak saya,"

Satria tersenyum perlahan, teringat momen saat bertemu Mentari di weekend kemarin yang lumayan memberi kesan padanya. Memorinya otomatis berkelana ke masa-masa ketika ia masih menjadi aktivis himpunan mahasiswa, masa-masa indah sebelum bertemu setumpuk realita seperti sekarang.

Ia sangat ingat soal Mentari, walau awalnya tidak ingat karena memang ia lemah menghapal wajah seseorang, mereka pernah beberapa kali bekerja sama saat masih menjabat di Imakindo. Namun komunikasi terputus setelah berulang kali ia mengganti nomornya dan sejak ia memutuskan menutup sosial medianya karena sesuatu terjadi di masa lalu.

"Oh iya, yang kemarin itu kakak ipar kamu ya?"

Bintang mengernyitkan dahi, "Kemarin? Oooh, Kak Kemal ya? Bukan Pak, temannya Teteh itu, kebetulan satu kantor mereka Pak,"

Kesatria Mentari (Completed)Where stories live. Discover now