Mentari yang Kembali

89 11 0
                                    

Pantai Bayah di bulan Desember.

Semburat langit berwarna senja telah tiba seakan memberi pesan selamat tinggal kepada gadis yang sejak tadi hanya termenung menatap lautan itu. Kakinya mencengkeram butiran pasir, ia rasakan bulir pasir di kulitnya seakan ia tidak akan menemui rasa ini kembali. Celananya ia gulung, namun tak juga terhindar dari basah karena gulungan ombak yang semakin malam akan semakin tinggi.

Rambut hitamnya tersibak tak beraturan mengikuti arah angin, membuatnya mau tidak mau menggerakkan tangan agar rambutnya tidak menghalangi pandangan. Bibirnya tak henti mengurai senyum, menyaksikan pemandangan yang sebentar lagi tidak bisa ia lihat setiap hari.

Jena
Welcome back, sister!
Maaf nggak bisa nyambut, lagi di Riau nih visit plant.

Pesan dari sahabatnya, Jena, ia baca dengan cepat sambil matanya kembali terfokus pada pemandangan luar biasa di depannya.

Mungkin jika kepindahan ini dialami oleh orang lain di timnya, mereka pasti akan merasa senang. Kembali ke kota berarti kembali ke peradaban. Namun hal ini tidak berlaku untuknya, ia justru begitu sedih ketika keputusan orang-orang di Pusat sudah bulat untuk memindahkan dirinya kembali ke kantor pusat.

Ponselnya yang ia letakkan di saku itu kembali bergetar, menandakan ada orang di ujung sana yang menantikan kabar.

Ia mendengkus, mengalihkan fokusnya yang sejak tadi ke arah Samudera Hindia menjadi ke arah benda canggih yang mampu mendekatkan ia dengan orang lain yang berpuluh kilometer jaraknya.

"Ya, Bu,"

"Teteh? Jadi beneran pindah ke Pusat?"

Begitu suara teduh itu terdengar, Mentari tidak kuasa untuk tidak mengulum senyum di wajahnya, "Jadi,"

"Astaga, anak ini. Kenapa nggak bilang-bilang? Ibu jemput ya sekarang?"

"Nggak perlu Bu, Tari bisa naik kereta paling pagi. Ibu berangkat sekarang sampai sini malah gelap. Bahaya," sahutnya sambil tersenyum membayangkan momen ini begitu ditunggu oleh anggota keluarganya. Namun hati kecilnya tetap saja sedih.

"Kenapa? Masih berat ya untuk pulang? Teh, Ibu senang banget lho kamu bisa kembali ke rumah. Akhirnya Teteh bisa Ibu temui setiap hari,"

"Nggak kok, Bu. Kalau Teteh nggak mau kan pasti Teteh juga nggak terima tawaran ini. Teteh mau kok pulang. Ibu tunggu aja yah,"

Mentari menutup pembicaraan itu dengan helaan napas berat. Matanya mengarah ke arah lautan luas, berusaha untuk menerima jika ia sudah harus kembali.

Sepuluh tahun, ia rasa sudah cukup ia berlari selama sepuluh tahun dan kembali.

Sebutir air mata jatuh di wajahnya, memori sepuluh tahun yang lalu itu masih jelas membekas di benaknya. Luka dari peristiwa sepuluh tahun lalu itu masih terasa jelas di benaknya. Luka yang membuatnya terus mencari alasan untuk pergi jauh, menghindari pertemuan keluarga besar maupun teman-temannya, membuatnya mengasingkan diri atas nama pekerjaan.

Sesosok lelaki berjalan mendekatinya dengan kedua tangan berada di dalam saku celananya. Ia hanya terdiam menatap punggung gadis itu sambil berdecak.

"Gimana? Masih nyesel ke kota? Kalau boleh gue aja sini yang pindah!"

Mentari membalikkan badannya ke arah lelaki yang memiliki tinggi sekitar 180 cm itu, tersenyum datar. "Iya nih, tukeran aja gimana?"

Jemmy mendudukkan dirinya sendiri di samping gadis itu, menghela napas sambil tersenyum hingga matanya membentuk bulan sabit. "Yang penting promosi, nggak ada gitu rasa bahagia?"

"Kalau bisa sih gue bahagia, tapi nyatanya gue nggak bahagia-bahagia banget?"

"Bahagia dong seenggaknya apa yang lo rasain sekarang tuh gue pinginin banget!" sahut Jemmy kembali dengan mata memelas, "Jangan lupain yang disini ya!"

Kesatria Mentari (Completed)Where stories live. Discover now