Bab 43 : Mimpi Caca

Start from the beginning
                                    

"Aku minta maaf, Mas."

Marel mengusap wajahnya dengan frustasi, "Aku nggak butuh kata maafmu, Nin. Aku cuma butuh kamu ubah keputusan kamu yang sepihak ini."

"Aku nggak bisa, Mas. Ini udah aku pikirkan dari lama, dan setiap kali aku menyangkal dan berpihak ke hubungan kita. Aku selalu menemukan kesalahan disana."

"Apa salahnya sih, Nin? Apa karena Caca suka aku? Aku rasa dia nggak akan pernah jadi orang ketiga dalam hubungan dan bahkan aku nggak akan pernah biarkan dia jadi penghalang untuk hubungan ini."

"Orang ketiga? Kenapa kamu suka banget kasih julukan buruk ke adikku?! Terakhir kali kamu sebut cinta adikku sebagai cinta monyet yang hanya perasaan yang sia-sia. Dan sekarang kamu nyamain adikku sebagai orang ketiga?"

"Nin, kamu..."

"Ya, aku udah denger percakapan kalian dua hari lalu. Dan karena itu aku jadi semakin yakin kalau kamu bukan orang yang tepat untuk aku pertahankan."

"Maksudmu aku nggak pantas untuk dipertahankan?"

"Ya, kamu nggak pantas untuk itu."

"Nin.. ini cuma perkara Caca doang kamu hancurkan semua mimpiku."

"Mungkin bagi kamu yang orang asing ini keberadaan Caca nggak berarti apa-apa, tapi aku sebagai kakaknya selalu menghargai setiap yang Caca inginkan. Jikalau Pun Caca meminta cinta kamu, aku akan berikan semua itu. Tapi sayangnya Caca nggak meminta itu, dari sini kamu bisa paham seberapa penting dan baiknya Caca di hubungan kita yang nggak tepat ini."

Sebanyak apapun doktrin yang Anin gagaskan kepadanya, tetap bagi Marel tidak ada hal baik dari keberadaan Caca dalam hubungan mereka.

"Aku harap Mas Marel nggak membenci Caca. Dia nggak ada sangkut pautnya sama keputusan ini, kamu cukup salahkan aku aja yang sudah bersikap plin-plan dalam hal ini."

Konyol, permintaan Anin yang menyuruh Marel untuk menyalahkan dirinya tidak akan mungkin bisa Marel wujudkan. Tidak akan pernah bisa Marel melampiaskan semua rasa sakitnya ini kepada orang yang telah lama dia cintai.

***

Caca menempelkan notes terakhirnya di dinding kamarnya. Itu adalah sekumpulan notes yang berisikan mimpi-mimpi yang akan Caca gapai. Ya, bisa dibilang Caca sudah memutuskan untuk membuka lembaran barunya. Membuang mimpi terbesar miliknya dahulu yaitu bahagia sambil memegang tangan Marel, kini mimpi itu telah berubah jauh lebih baik.

Menjadi bahagia dengan dirinya sendiri.

Senyuman manisnya menggambarkan betapa semangat dirinya dalam melangkah ke depan. Tangannya berkacak pinggang dengan sebelah tangannya mengelus-elus dagunya. Kerutan di dahinya menunjukkan betapa rumitnya isi kepalanya saat ini. Namun kerumitan itu buyar saat Anin mengetuk pintu kamar Caca.

Walaupun sudah berlalu beberapa hari, Caca masih belum bisa berbicara santai dengan kakaknya itu. Caca sudah memaafkan kakaknya, dia sudah merelakan semua yang akan terjadi kedepannya. Akan tetapi, sulit untuk memulihkan retakan pada kaca kan?

"Kamu sedang apa?" tanya Anin yang memasuki kamar adiknya itu dengan senyum ramahnya. Dia berdiri disebelah adiknya yang menatap dinding berisikan banyak kertas yang tertempel disana. "Ini semua..."

"Mimpi-mimpi Caca."

Anin tertegun, dia pikir dirinya telah menghancurkan mimpi-mimpi Caca dengan bertunangan dengan laki-laki yang dia cintai. Tetapi melihat banyaknya mimpi Caca di dinding itu, Anin merasa lega karena adiknya telah melangkah ke depan dan tidak stuck pada satu mimpi yang gagal.

"Mbak kesini mau apa?"

"Oh, mbak beli ramen kesukaanmu. Mbak taruh di dapur, ayo-," belum selesai kalimat Anin, Caca sudah ngacir ke dapur dengan riang gembira. Melihat kebahagiaan itu, Anin ikut bahagia.

Saat hendak menyusul, Anin terhenti saat satu notes terjatuh ke lantai. Niatnya ingin menempelkan kembali notes yang terlepas itu, tapi dirinya dibuat tertegun saat mengetahui isi notes tersebut. Senyumnya melebar, air matanya menetes.

'Semoga Mbak Anin selalu bahagia dengan hidupnya!'

***

Ayah dan Bunda duduk di ruang tengah bersama dengan kedua orang tua Marel yang bertamu. Kedua keluarga nampak serius membahas sesuatu hal yang tidak ingin Caca ketahui, dia tidak mau merusak moodnya karena sejak dirinya memakan ramen pembelian Anin moodnya sangat baik. Jadi, tidak perlu Caca merusaknya hanya untuk hal tidak perlu.

Caca menyibukkan diri di kamar dengan laptop di pangkuannya. Headphones terpasang di kedua telinganya. Kali ini Caca sedang menyusun sebuah essai untuk dia ajukan dalam perlombaan akhir bulan nanti, ini salah satu mimpinya yaitu menjadi Caca yang berprestasi. Baru saja dirinya merumuskan isi essainya, sebuah pesan masuk.

Macan Asia : Kenapa belum tidur?

Senyuman manis itu ditujukan untuk rasa bahagianya atas pesan dari Zafran yang seharian ini belum menghubunginya.

Caca : Belum, aku lagi galau tau..

Ide jahil Caca ini lahir dengan spontanitas, Caca yakin dengan pesan baliknya ini membuat Zafran melek lagi.

Macan Asia : Galau cuma buang waktu

Caca : Galau kan emosi yang nggak bisa dikendalikan, kok ngatur sih?😒

Macan Asia : Kalau konteks galaunya itu aku, masih aku tolerir

Caca tertawa terbahak-bahak, cara Zafran menggodanya sangat klasik. Itu terkesan seperti jokes antara teman.

Caca : Astaga, kenapa aku harus galauin kamu?

Macan Asia : Karena yang lagi buat kamu ragu akhir-akhir adalah ungkapan cintaku padamu

"Ah, benar juga. Aku belum memutuskan jawabanku padanya."

Caca menghela napas, punggungnya bersandar di kursi matanya menatap langit-langit kamarnya.

"Aku suka kamu, tapi aku takut masih terbayang-bayang masa laluku. Aku takut jadi salah paham dan berujung perpisahan..."

Bersambung...

***

Macan Asia yang sukanya flirting, xixi.

Mbak Anin udah tegas sama keputusannya, apakah Marel akan berhenti berjuang?😱

Sampai jumpa di next chapter!


Three Little WordsWhere stories live. Discover now