28

59 2 2
                                    



"Anda jangan kurang ajar ya!." Dewa membawa Ana ke belakang tubuhnya. Tatapnya menghunus tajam pria yang tidak pernah melepas pandangannya dari gadis itu. "Saya bisa laporin anda kepetugas kalau masih macam-macam!."

Mata Ana memanas, tangannya meremat kuat lengan dokter Dewa. Pria itu benar-benar nyata di depannya. Bukan lagi ilusi semata. Seperti saat ia benar-benar merindukannya. Karena jujur, dia masih sering memikirkan pria ini. Dan itu sangat gila!.

Namun, Sudah banyak hal yang berubah. Rasanya tidak pantas sekali, jika ia harus menampakkan diri lagi di depan pria itu. Di saat ia sudah bukan bagian dari mereka. Rasanya ia sangat kecil.

Dewa mendengkus kasar melihat pria itu tidak bergerak sedikitpun.

"Kamu kenal sama dia?." Dewa berbisik ke Ana yang masih sembunyi di belakangnya.

Namun, mulut Ana bungkam. Dengan perasaan semakin kalut.

Tidak mendapat jawaban dari Ana, Dewa dengan cepat mengegam tangan gadis itu. "Kita pergi." Lalu menarik gadis itu meninggalkan pria yang ingin sekali dia hajar lagi. Baru saja berbalik, lelaki itu kembali meraih lengan Ana hingga tubuh gadis itu terdiam kaku.

"Ana...ini beneran kamu?." Suara pria itu terdengar parau, hingga Ana mengigit bibirnya berusaha menahan isakan. "An-"

"Saya bilang jangan kurang ajar!." Napas Dewa memburu, dia mencengkram kuat kerah kemeja pria itu. "Kami tidak mengenal anda! Jadi stop panggil dia berengsek!."

"Saya tidak ada urusan dengan anda!." Pria itu menyetak kasar tangan Dewa hingga terlepas dari kerahnya. "Justru saya sangat mengenal dia!."

Gigi pria itu bergeletup, ia susah payah menahan diri sejak tadi. Netranya menatap lekat gadis yang terdiam kaku bak patung itu. "Gadis itu adalah...adik saya." Mata gadis itu melotot, dia menggeleng panik. Membuat pria itu menyeringai. "Dia...adik say-"

Satu pukulan mendarat kuat di wajah pria itu hingga dia terhuyung.

"Jangan ngomong sebarangan berengsek!." Dan Dewa kembali melayangkan pukulannya hingga orang-orang mulai mengerumuni mereka.

Ana berdiri panik melihat kedua pria itu mulai berekelahi. Sama sekali tidak ada orang yang maju memisahkan mereka. Orang-orang lebih memilih menonton dan mengabadikannya mengunakan ponsel mereka.

Gila!

"Dokter Dewa berhenti! ...tolong pisahin mereka! Tolong!."

Kerumunan itu mulai berbisik dan melirik sinis Ana yang sudah seperti orang gila meminta orang-orang untuk menghentikan perkelahian dua pria itu. Tidak ada yang bergerak sedikitpun untuk membantu. Sungguh, dimana jiwa sosial semua orang di sini. Ana terisak, merasa prustasi dengan semuanya. Apalagi melihat Dokter Dewa yang sudah mulai kualahan dengan pukulan pria itu. Dia terkulai tidak berdaya di bawah kuasa lelaki itu.

"Siapapun Tolong pisah-"

Seorang laki-laki menerobos kerumunan membuat ucapan Ana terhenti. Ana berlari mendekat saat lelaki itu berhasil memisahkan pria itu dari tubuh Dokter Dewa yang kini terkulai lemas di lantai. Ana membekap mulut, melihat kacaunya pria itu.

"Dokter...." Ana menangis, merasa sangat bersalah karena semua ini terjadi sebab drirnya. "Dokter... maaf."

Dewa meringis, ia terseyum walau sudut bibirnya terasa sakit luar biasa. "Ini nggak papa." Ia bangkit di bantu Ana yang memegang lengannya.

"Ini semua sa-"

"Ikut aku." Ana memekik saat tiba-tiba lengannya di tarik. "Lepas!."

Dia meronta panik melihat pria itu menyeretnya keluar bandara. "Lepas! Lepas!." Namun langkah pria itu semakin cepat hingga ia hampir jatuh. Ana memukul kuat tangan pria itu yang ada di lengannya. Namun, tetap tidak lepas. Ia menoleh panik melihat Dokter Dewa yang mengejar mereka dengan susah payah. "Tolong lepas! Jangan kayak gini!."

"Ana!." Dewa meringis merasakan sakit luar biasa pada kakinya. Sial!. Siapa pria itu. Bisa-bisanya dia mengaku Ana adalah adiknya. "Ana-arghh! Sial!."

Dewa bersandar lemah di mobil-mobil yang terparkir. Tubuhnya sakit di mana-mana. Dan semua tulangnya terasa remuk. Ia membungkuk memegang perutnya.

"Sial! Sial!." Ia mengumpat, merasa sangat prusatsi, melihat mobil hitam itu berhasil membawa Ana pergi.

•••••••••••

Dimas berdiri bingung di samping tuanya yang terlihat sibuk dengan dokumen di depannya. Sama sekali tidak menghiraukan gedoran pintu yang tidak pernah berhenti. Suara teriakan yang bergema dari kamar itu membuat Dimas meringis. Siapa sebenarnya gadis yang di bawa bosnya ini?.

Bahkan tuannya itu, sama sekali tidak memeperdulikan semua luka lebam di wajahnya.

Dering ponsel berhasil mengabil alih atensi si pria. Dahinya mengeryit, melihat nama yang muncul di layar. Dia mendengkus, melirik tajam asistenya.

Dimas glagapan di tempatnya. "Ibu Nala kan harus tahu semua jadwal bapak. Jadi-"

"Sudah." Pria itu mendengus kasar. "Kamu bisa ke kamarmu sekarang-dan jangan lupa pesankan makan siang untuk kami."

Yang di masksud 'kami', tentu saja tuanya dan gadis yang masih mengamuk di kamarnya sekarang. Dan Dimas hanya mengangguk patuh. "Kalau begitu, saya permisi pak."

Pria itu hanya berdehem, lalu segera mengangkat ponsel yang tidak berhenti berdering itu. Sudah sangat mengerti maksud wanita ini menelponnya.

"Ha-"

"Jangan macam-macam Arga!."

Namun, pria itu malah terkekeh, membuat lawan bicaranya semakin meradang.

"Arga!."

"Apa bun? Aku lagi kerj-"

"Kamu harus ingat kesepakatan kita Arga! Kamu bisa menemuinya saat ayahmu turun dari jabatannya. Dan itu Masih tiga bulan lagi Argaa!."

Arga mendengkus, merasa bosan dengan kalimat yang selalu di ingatkan untuknya itu. "Tiga bulan lagi kamu akan menggantikan posisi ayahmu, Argaa!. Dan jangan lakukan hal gila!."

Arga bergumam malas, semakin memancing kemarahan bundanya. "Tapi aku sudah terlanjur bertemu. Gimana dong?."

"Arga!."

Pria itu mendengus, lalu bangkit, melangkah mendekati balkon hotel tempat ia menginap untuk seminggu kedepan. Lalu lalang kendaraan terlihat kecil dari lantai dua puluh tempat ia berdiri sekarang.

"Tiga bulan lagi Arga. Tiga bulan! Dan kamu bisa menememuinya langsung!."

Arga menjauhkan ponselnya, mendengar bentakan itu. Kenapa orang-orang suka sekali berteriak?. "Aku tidak melanggar kesepakatan itu Bunda. Aku sama sekali tidak tahu keberadanya di kota ini. Karena bunda menyembunyikannya dari aku. Tapi...ia sendiri yang datang kepadaku. Ja-"

"Ana tidak akan seperti itu! Pulangkan dia sekarang juga Arga!."

"Bunda tahu takdir?." Arga menyorot datar pemandangan di bawahnya. "Sekuat apa pun usaha Bunda menjauhkan dia dari aku...dia akan tetap kembali ke aku, Bunda. Karena kami memang di takdirkan untuk bersama."

Ada helaan napas kasar yang wanita itu keluarkan, sudah bisa di bayangkan bagaimana prustasinya dirinya sekarang. "Arga...cukup. Bunda sangat memohon, jangan macam-macam untuk sekarang. Hanya tiga bulan, yang bunda minta. Setelah itu, bunda serahkan semuanya ke 'dia'. Jika dia ingin kembali ke kamu maka bunda akan biarkan. Tapi...jika dia menolak. Maka kamu harus berhenti Arga."

Lalu sambungan terputus. Arga masih bergeming di tempatnya. Kalimat terakhir dari bundanya, sangat mengelitik dirinya. Ia menyeringai, "Siapa yang akan berhenti."

Tidak ada yang dapat menghentikannya...sekalipun gadis itu sendiri.











💜🐰Stay healthy guys.





THIS IS LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang