12

30 4 0
                                    



Acara yang bertema outdoor itu di gelar mewah di kawasan canggu. Acara pembukaan kafe yang kata bundanya sederhana itu sangat jauh dari kata sederhana. Sejak turun dari mobil Ana tidak pernah melepas rangkulaannya dari lengan Nala. Helaan napas kasar berapa kali dia keluarkan. Namun, belum mampu menghilangkan rasa takutnya.

Beberapa kali orangtuanya berheti dan memperkenalkan dirinya dan Arga ke orang yang katanya teman bisnis mereka.

"Udah besar ternyata kalian ya."

Ana dan Arga hanya tersenyum samar menanggapi ucapan pria dewasa itu, yang katanya sudah mengenal mereka sejak kecil. Tapi Ana sungguh tidak mengingat mereka. Dia hanya berusaha menyembunyikan respon tubuhnya yang selalu berjengit saat beberapa kali bersalaman dengan mereka. Keringat dingin sudah membasahi tangannya. Rasanya dia bisa jatuh saking lemas kakinya sekarang, kalau saja dia tidak mencengkram kuat lengan Nala.

"Kalian berdua makan aja dulu. Bunda sama Ayah mau ketemu yang punya acara."  Nala memaksa Ana duduk dan melepas tautan lengan mereka. Dia berdecak menatap putrinya. " Kamu kenapa sayang? Bunda nggak lama kok. Sama abangmu dulu ya."

Kedua orangtuanya pergi tanpa menyadari sepucat apa wajah Ana sekarang.

"Minum." Arga menarik pelan Ana yang masih berdiri kaku untuk duduk di sampingnya.

Di meja mereka terhidang berbagai macam makanan. Mulai dari menu pembuka sampai menu penutup. Arga mengetuk pelan meja di depannya dengan dahi berkerut. Nampak sekali tengah berpikir. Lalu pria itu melirik Ana yang duduk di sebelahnya. Dan benar saja ia mendapat gadis itu tengah meremas kuat gelas yang baru saja dia minum. Gestur tubuh yang terlihat tidak nyaman sekali. Arga berdecih muak, lalu menghela napas panjang. "Kalau nggak nyaman di sini ... keluar aja."

"Emang bisa?." Ana ragu bertanya, masih belum percaya bahwa Arga baru saja berbicara kepadanya.

"Hm?."

Lalu hening. Mereka sama-sama diam.

"Mau ikut?."

"Aku?."

Arga berdecak. Mati-matian melawan egonya. Gadis ini masih saja sulit mengerti. "Lo liat ada orang lain selain lo di sini."

Ana meringis mendengar nada ketus Arga. "Bunda sama Ayah gimana?."

"Lo mau ikut atau nggak?." Arga sudah berdiri tidak berniat meladeni kecerewetan gadis bodoh itu.

"Aku ikut. Tapi...."

"Ck! Apalagi?."

Ana meremas jarinya yang sudah berkeringat. Bagaimana menjelaskan kepada kakaknya ini. Kalau dia takut sekali harus melewati lautan manusia ini sendirian.

"A-aku takut bang...."

"Ck!"

Ana melotot saat Arga menarik lengannya, menggadengnya keluar. Orang-orang yang menatap aneh keduanya. Bagaimana tidak aneh. Arga jalan cepat sekali di tambah ia di tarik oleh pria itu. Seperti tengah di kejar orang. Ana meringis, menghindari tatap tajam para pria yang mereka lewati. Dia semakin mencengkaram kuat lengan Arga.

•••••••

Laut di malam hari ternyata sangat indah. Ana sudah melepas heals yang sejak tadi menyakiti kakinya. Senyumnya tidak pernah luntur saat pertama kali pasir dingin itu menyentuh kulit kakinya. Padahal beberapa waktu yang lalu dia seperti mayat hidup.

Rasa dingin dari air laut membuat dia berjengit.  Matanya melirik Arga yang masih duduk diam tidam jauh dari tempatnya. Terlihat sibuk dengan ponsel dan rokoknya.

THIS IS LOVE [On Going]Where stories live. Discover now