01.

97 3 1
                                    



"Arga! ... Bang!. " Ibu dua anak itu masih berantakan, berkacak pinggang di depan meja makan. "Bik! Sudah di bangunin nggak sih? Kok sampai sekarang masih belum turun!."

"Bunda, ini masih pagi loh, kebiasaan." Wisnu sang suami mengeleng melihat tingkah istrinya. Setiap pagi wajib ada drama sebelum sarapan di mulai. Dan penyebabnya selalu hal yang sama. "Duduk dulu, sarapan"

"Gimana nggak teriak, punya putra satu satunya di aturnya susahnya minta ampun. Apa bangun pagi sesulit itu? Terus sa—"

"Aku udah selesai." Ana dengan seragam putih birunya yang sudah rapi itu berdiri, bergerak menyalami kedua orang tuanya.

"Loh nggak nambah lagi sayang? Dikit banget sarapannya?"

"Aku ada piket Bun, nanti aku beli roti di sekolah kok," ujarnya terseyum.

"Nggak tunggu Abangmu dulu. Sekalian berangkat bareng dia?" tanya Nala lagi.

Tentu saja gadis itu menggeleng cepat. "Aku udah telat ini Bun. Aku berangkat dulu ya, dah Bunda Ayah!." Lalu ia berlari keluar secepat yang dia bisa, karena sosok yang ia hindari baru saja turun dari lantai dua.

"Pagi!"

Sayup-sayup Ana mendengar suara bariton kakaknya dari teras rumah. Ia menghela napas lega, dan berusaha mengatur napasnya yang sedikit sesak setelah berlari. Olahraga dadakan. Ia terkekeh geli, menertawakan sikap konyolnya. Setiap pagi ia akan sarapan paling awal, hanya untuk menghindari satu meja dengan saudaranya itu. Bukan karena dia tidak menyukainya. Sungguh, Ana tidak membenci kakaknya. Namun, ia hanya berusaha tidak membuat orang tuanya berdebat di meja makan dengan kakaknya jika ia di sana. Rasa benci pria itu terhadapnya tidak pernah dia sembunyikan, walapun di depan orang tua mereka.

"Non Ana?."

Ana terlonjak, hampir memekik jika tidak segera menguasai diri. "Mang Udin! Ngagetin tauu!."
Ana menatap kesal sopirnya yang hanya nyegir di samping mobil sedan hitam Bundanya. 

"Lagian, si Non pagi-pagi malah ngelamun. Entar kesambet Non," ujar Mang Udin membuat Ana memutar matanya malas.

"Siapa yang ngelamun, Mang Udin tuh kebiasan kagetin orang. Kalau aku jantungan gimana?."

"Ya jangan sampe sih Non, saya minta maaf kalau gitu Non. Jangan jantungan dulu."

Dan paginya tidak lengkap jika ia belum ribut dengan Mang Udin, sopirnya. Ada saja hal yang mereka debatkan. Ana melangkah menuju sedan hitam yang pintunya sudah terbuka. Ia masuk, dan duduk di belakang dengan tenang. "Hari ini aku ada piket loh mang. Jangan sampai aku telat gara-gara nungguin Mang udin ya."

Tersadar masih berdiri di depan mobil, Mang Udin nyengir lebar lalu segera masuk. "Nggak mungkin telat kalau sama Mang Udin."

Ana memutar bola matanya malas. Kepalanya ia sandarkan di kaca mobil. Tangannya mulai bergerak acak. Ada empat manusia yang berhasil tercipta oleh jarinya. Betapa ia menyayangi keluarga ini. Mungkin mimpi terbesarnya adalah ingin melihat keluarganya bersatu.

"Non Ana sudah sampai."

"Ah!." Ana melihat sekelilingnya dengan cepat. Sekolah. Sudah sampai ternyata. "Iya iya, makasih mang. Aku masuk dulu, dah! " Ana turun, berdiri di samping mobilnya. Ia tersenyum lebar, melambai sampai mobil Mang Udin tidak terlihat lagi. Namun, senyum itu surut seiring mobil itu menghilang dari pandangannya.

•••••••

"Pagi Anaa."

"Pagi Ana." 

"Pagi princess Anaaa." Lalu mereka semua tertawa.

Ana berdecak, melangkah cepat menuju bangkunya. Kernyitan di dahinya muncul melihat mejanya begitu bersih. Tumben sekali. Karena biasanya mejanya akan penuh dengan berbagai jenis sampah. Bahkan bangkai hewan, yang baunya luar biasa menyengat. Tapi sekarang, kosong. Matanya melirik teman-temannya yang ternyata tengah memperhatikan dirinya.

Pasti ada ses—

"Tuhan! " Ana terlonjak dari bangkunya saat Amel tiba-tiba melempar ular mainan ke mejanya. Napasnya memburu dengan jantung berdetum kencang. Ia mendongak menatap tajam tiga gadis yang berdiri angkuh di depannya.

"Mana buku lo!." Dengan lancang Amel merebut tas Ana lalu mengelurkan semua isi tas gadis itu di atas meja dan semuanya jatuh mengenaskan.

"Lo apa-apaan sih!." Ana merebut kembali tas dari tangan Amel. "Lo nggak tahu cara minta yang sopan?!."

"Kita mau buku lo... bukan dengerin ceramah lo." Diana yang berdiri di samping Amel mendorong kasar tubuh Ana hingga duduk kembali di bangkunya. Kedua tangan Ana terkepal di sisi tubuh. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak melawan. Karena ia tahu. Semakin ia melawan, mereka akan semakin menjadi.

"Buku gue banyak, lo nggak sebut buku apa—"

"Buku tugas lo! Jangan berlagak begok deh!."

Dan begitu saja, tasnya kembali berpindah ke tangan Amel.

"Lama amat!." Amel menatap sinis dirinya, lalu tersenyum melihat buku di tangannya. "Makasih princess Anaa." Amel mencolek dagu Ana sebelum pergi. 

Helaan napas panjang beberapa kali Ana hembuskan cara dirinya berusaha meredam emosinya. Selalu seperti ini, sudah biasa. Teman-temannya tidak ada yang berani membantunya karena takut terjadi hal yang sama seperti dirinya. Hampir dua tahun dia mendapat perlakuan seperti ini dari geng Amel, tapi tidak pernah dia laporkan ke orang tuanya. Karena menurutnya masih bisa dia tangani. Mereka tidak pernah main fisik.
Hingga dia tidak perlu melibatkan orang tuanya. Dia tidak mau membesar-besarkan masalah apalagi ini hanya masalah dirinya sendiri.

"Lo nggak papa An! " Gea—Satu-satunya temannya  di kelas ini, duduk dengan tergesa di sampingnya. "Gue baru dateng, terus denger yang lain, katanya lo habis di gangguin lagi sama gengnya si karamel itu!."

Ana tersenyum, "Udah, gue nggak papa, mereka cuma pinjem buku aja"

"Pinjem pinjem, sok bekuasa banget mereka di sini! Emang sekolah milik mereka apa! "

"Amel anak kepala sekolah, kalau lo lupa Ge"

Gea cemberut, "Iya iya si paling anak kepala sekolah kita"

Ana tersenyum melihat temannya yang masih saja menggerutu. Salah satu yang dia syukuri, di saat banyak orang jahat di sekitarnya pasti akan ada orang baik yang di kirim tuhan untuk menemaninya melewati semua ini.

•••••••

"Nanti pas selesai dari sini, lo pasti sekolah di tempat abang lo, ya?."

Ana hanya mengangkat bahu tidak tertarik menjawabnya. Dia kembali memakan baksonya yang sudah mulai dingin. Kantin semakin ramai membuatnya tidak nyaman.

"Ah pastinya! Lo pasti sekolah di tempat abang lo," ujar Gea cemberut, tapi tidak lama matanya berbinar. "Gue juga pengen sekolah di sanaa, Anaa!. Gimana dongg? "

"Gimana apanya?." Apa yang harus dia lakukan, dia saja masih bingung mau melanjutkan dimana.

"Ihh, lo bantu mikir lah. Gimana caranya supaya gue bisa masuk di sekolah ituu!"

"Kenapa mesti banyak mikir sih, lo tinggal daftar, kalau keterima ya, tinggal masuk. Mudah kan? "

"Nggak semudah itu fargusoo!."

Ana tergelak melihat wajah putus asa Gea.

Dimana dia harus melanjutkan sekolah. Dan jawabanya tentu sekolah yang sama dengan kakaknya. Karena Bundanya sudah memberi keputusan pinal. Dan dia tidak bisa menolak. Walau sebagai jaminanya dia akan semakin di benci oleh pria itu.

Haii...
Stay healthy guys..
Selamat membaca💜🐰

.

THIS IS LOVE [On Going]Where stories live. Discover now