07

55 4 1
                                    

Ana termenung melihat bulir air hujan yang jatuh menimpa bumi. Udara dingin tidak mampu membuatnya beranjak dari balkon. Dia suka hujan. Tapi adakalanya hujan begitu menakutkan untuknya. Helaan napas panjang beberapa kali dia hembuskan. Menunjukkan betapa gelisah dirinya. Tatapnya terpaku, melihat gerbang. Dia berharap, setiap Kakaknya akan muncul di sana. Pulang seperti biasa. Namun, sejak perdebatan di meja makan itu. Pria itu tidak pernah kembali. Dan orang tuanya seolah tidak perduli. Tidak ada raut khawatir melihat kursi Arga yang kosong dua hari ini.

Suara ketukan pintu, menyentak lamunan Ana. Segera beranjak, tidak ingin membuat orang itu semakin lama menunggunya.

"Bi ijah? Kirain siapa tadi." Segera Ana buka pintunya lebih lebar. Bi ijah berterima kasih, lalu masuk dan menaruh susu coklat di atas meja belajarnya.

"Dari tadi bibi panggil tapi non Ana nggak nyaut-nyaut. Jadi bibi gedor aja pintunya. Maaf ya non" Bi ijah tersenyum canggung.

"Nggak papa, bik. Makasih ya susu coklatnya." Rasa hangat langsung menyebar, saat permukaan gelas itu menyentuh tangannya.

"Sama-sama Non. Kalau gitu bibi keluar dulu"

Ana tersenyum, sampai Bi ijah hilang dari pandangannya. Coklat memang sangat pas di minun kala suasana hati sedang buruk. Dia mendesah lega, rasa hangat langsung memenuhi rongga perutnya. Ana menaruh hati-hati gelas itu kembali ke meja. Lebih baik dia belajar, untuk persiapan ujian besok.

••••••••

Satu minggu berlalu dimana ujian telah selesai. Hanya tinggal meunggu pengumuman kelulusan. Lalu, bebas. Bisakah dia berkata begitu sekarang?. Ana mengeleng kencang dan terkekeh sendiri di bangkunya. Lega sekali rasanya.

Tidak berselang lama, Gea muncul sehabis dari kantin. Dua kresek kecil menghentak seirama dengan langkah lebarnya.

"Silahkan tuan putrii, pesanannya sudah datang," Gea membungkuk bak pelayan istana membuat Ana tertawa.

"Terima kasih pelayanku-Aw! Hahaha...."
Gea bersungut kesal setelah memukul lengan Ana. Dengan cemberut Gea lalu duduk di sampingnya.

"Begininih udah di tolongin tapi nggak ada bersyukurnya sama sekali."

"Padahal gue udah berterima kasih loh tadi" Ana menompang dagu, mengerjap lucu membuat Gea muak.

"Iyain biar seneng." Lalu Gea memilih membuka semua makan yang ia beli sebelumnya. Dari jenis roti, cilok, gorengan dan tidak lupa air putih beserta es buah ia jejerkan di tengah meja. Mata Ana berbinar, menusuk cilok kesukaannya. Tidak terlalu pedas maupun manis, pas sekali di lidahnya.

"Eh, nanti pas malem perpisahan lo berangkat bareng gue, ya. Siap-siap juga di rumah gue, aja sekalian," ujar Gea, mengingat acara perpisahan yang sebentar lagi akan di adakan.

Di tengah kunyahannya Ana memikirkan saran Gea, boleh juga. Lagi pula, kedua orang tuanya pergi keluar kota malam itu. Dia tidak mau sendiri di rumah. Arga sudah jarang pulang sekarang. Lebih tepatnya tidak pernah pulang. Rasa bersalah semakin menghantui dirinya. Ia ingin minta maaf, tapi bagaimna. Bertemu saja tidak pernah.

"Nanti gue kasih tau Bunda dulu deh. Semoga di kasih"

"Pasti di kasih, nanti gue ikut izinin lo. Biar Bunda lo tambah yakin" ucap Gea, menaik turunkan alisnya. Ana tertawa, kalau Gea sampai ikut. Izin sudah pasti dia kantongi.

"Gue denger, malam nanti bakal meriah banget!Solanya Amel yang usulin temanya" Gea berisik lirih, takut ada yang mendengar perkataanya.

"Kalau idenya sampai di tolak. Gue yakin bakal tantrum tu karamel," tambahnya mendengkus.

THIS IS LOVE [On Going]Where stories live. Discover now