03

56 3 1
                                    





Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih. Dimana biasanya Ana sudah duduk tenang di kelasnya sekarang. Tapi, tidak dengan hari ini. Ia masih terjebak di rumahnya karena harus menunggu sang saudara. Namun, sampai detik ini batang hidungnya saja belum juga terlihat.

"Bik udah di bangunin belum?." Itu pertanyaan ketiganya yang di jawab dengan jawaban yang sama oleh bi Ijah. Ana beberapa kali memanjangkan leher melihat pintu dapur, berharap sang Kakak muncul di sana, dan tetap nihil.

Belum dua puluh empat jam Nala dan Wisnu pergi, ia sudah seperti ini. Ana meremat prustasi rambut rapinya. Kalau seperti ini, dia bisa telat. Jarum jam terus berjalan tidak perduli sama sekali dengan Ana yang semakin gelisah melihatnya terus bergerak. "Kenapa sih? Aku di larang naik angkutan umum! "

"Karena bunda nggak mau, anak kesayangannya lecet," balas Arga dan mengambil duduk di depan Ana.

Kemunculannya yang tiba-tiba hampir membuat Ana terjatuh dari kursi. Memalukan sekali. Ana menghela napas, sebelum duduk kembali di kursinya. Sekilas ia melirik Arga yang duduk si seberangnya, lalu dengan cepat melarikan pandangannya ke sembarang arah karena ternyata pria itu tengah menatapnya.

Sedangkan Arga yang melihat tingkah Ana cuek bebek. Dia tetap dengan wajah datarnya. Bi Ijah datang tidak lama, dan langsung menyiapkan sarapan. Keheningan di antara kedunya hanya di isi oleh suara Bi Ijah.

Waktu terus bergerak, dan hampir merujuk ke angka tujuh. Membuat Ana bergerak tidak tenang di bangkunya. Arga menyadari kegelisahan gadis itu. Namun, apa pedulinya.

"B-bang Arga belum selesai? " tanya Ana, memberanikan diri. Dia sudah tidak tahan diam saja.

"Lo ngomong ke gue?."

Emang ada manusia selain dia di sini!. " Ini udah mau jam tujuh ba—"

"Terus? "

Sungguh kenapa dia harus di tinggalkan bersama makhluk ini. Ana mengigit bibirnya gugup, "A-aku bisa telat nanti, kalau lewat dari itu"

Arga mengangguk, seolah mengerti. Lalu, "Kenapa masih di sini? " lanjut makan dengan santai.

Bundaa!

"Aku berangkat bareng bang Arga kan?." Ana mulai kehilangan kesabaran melihat Arga masih saja santai dengan makanannya.

Arga menepuk jidatnya, seolah baru teringat. "Astaga lo berangkat bareng gue ya? Gue lupa, sori ya"

Kalau saja dia bukan kakaknya, Ana bersumpah dia akan melempar wajah menyebalkan itu dengan buah di depannya. Namun, dia hanya mampu memaksakan senyumnya, menatap wajah yang sangat terlihat bersalah itu. Ana berdecih jijik dalam hati.

"Yah sepuluh menit lagi jam tujuh, gimana dong? " tanya Arga, lagi-lagi masih dengan wajah sok polosnya.

Ya berangkat lah!. Ana tersenyum, "Kita berangkat sekara—"

"Ah bener banget, kita berangkat sekarang ayo, ayo, kita berangkat sekarang." Namun, Arga semakin tenang memakan nasi gorengnya. Sangat tidak sesuai dengan ucapannya.

Apa yang Ana harapkan dari sosok menyebalkan di depannya. Ia hanya mampu terseyum, walau rasanya gatal sekali ingin menyiram wajah itu dengan jus di gelasnya. Ana sekuat tenaga menahan sesuatu yang ingin meledak di dalam dirinya. Setelah menandaskan jus di gelasnya, Ana tanpa kata langsung memasang tasnya.

"Pergi aja. Gue tinggal bilang, lo nggak mau di anter sama gue, dan lebih milih naik angkutan umum. Beres kan."

Langkah Ana terhenti di ambang pintu. Arga berpikir ia tidak mempunyai batas sabar?. Andai dirinya bisa. Mungkin ia sudah mengamuk sekarang. Tapi. "Siapa yang mau naik angkutan umum. Aku mau tunggu bang Arga di luar kok." Lalu ia kembali melajutkan langkah mengabaikan raut masam kakaknya.

Arga menatap tajam punggung Ana yang menghilang dari jangkauannya. "Dia pikir dia siapa." Lalu bangkit meninggalkan sarapannya, selera makannya mendadak hilang.

Suara langkah kaki yang mendekat, membuat Ana langsung bangkit dari duduknya. Tanpa melihatnya pun ia sudah tahu. Arga melewatinya tanpa kata, dan langsung masuk ke bagasi. Untuk pertama kalinya Ana menaiki motor kakaknya. Melihat bentuknya saja, sudah terbayang betapa tidak nyamannya dia duduk di sana. Badannya yang kecil ini harus menaiki motor besar itu. Apa ia akan baik-baik saja?. Semoga.

Ana menelan ludah saat Arga berheti di depannya. Dan ia semakin mati kutu saat kakanya itu membuka helemnya. Tatapannya selalu tajam, mampu membuat siapapun merasa terintimidasi. Termasuk dirinya.

"Naik."

Sudah, itu saja. Ana masih bergeming. Jujur saja, ia bingung cara menaiki motor ini. Minta tolong dengan Arga, nyalinya tidak sebesar itu. Laku ia harus bagaimanaa?.

"Lo budek." Arga menatap jengah Ana yang masih saja beridir seperti patung di sebelah motornya. "Gue bilang naik, bodoh."

"A-aku nggak bisa naik bang," cicit Ana tidak berani menatap Arga. Kepalanya menunduk dalam.

Ana mendengar Arga mengumpat, sungguh rasanya ia ingin menangis sekarang. Tidak bisakah  sekali saja ia tidak membuat kakaknya kesal. Sepertinya tidak bisa. Uluran tangan membuat Ana langsung mendongak. Matanya melotot, tidak menyangka kakaknya mau bersikap baik kepadanya.

"Cepetan!."

Nadanya masih ketus, tapi Ana tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Dengan semangat, ia menerima uluran tangan Arga, menjadikannya tumpuannya.

"Udah." Baru saja Ana mencari posisi nyaman, Arga sudah menjalankan motornya. Tentu saja ia hampir terjungkal jika tidak segera mencengkran tas pria itu. Tidak berhenti sampai di sana. Keluar dari area perumahan, Arga tanpa ampun langsung melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Jangan tanyakan keadaan Ana sekarang bagaimana. Matanya terpejam kuat, dan tanganya memeluk erat perut Arga. Masa bodoh pria itu akan marah nantinya, ia tidak perduli. Nyawanya lebih penting dari apa pun. Mungkin Arga sudah bosan hidup, tapi tidak begini caranya!. Kalau mau mati, mati saja sendirii, jangan ajak dirinya!.



🐰💜

THIS IS LOVE [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang