02

59 4 1
                                    






Gerimis membasahi kota siang ini. Ana menempelkan kepalanya pada kaca mobil, melihat lalu lalang kendaraan maupun pohon yang terlewat oleh mobilnya.

"Bunda belum pulang mang?." Seperti biasa, jarinya mulai menggambar abstrak di kaca jendela.

"Belum non," jawab Mang Udin, melirik sebentar lalu kembali fokus pada jalanan macet di depannya.

Ana mengangguk walaupun tidak di lihat Mang Udin. Empat manusia yang dia gambar di kaca mobil itu, berhasil menerbitkan senyum Ana.

"Ayah?."

"Sama non... katanya mereka hari ini pulang malam."

Kata terakhir mang udin mampu mengubah suasana hatinya. Bibirnya cemberut dan tangannya bergerak cepat menghapus gambar empat manusia itu.

"Malam ya?." Tidak biasanya mereka sampai lembur begini. Pasti pekerjaan mereka banyak sekali. Dia kembali menyandarkan kepalanya dengan wajah di tekuk. "Sudahlah."



•••••••

"Maaf sayang, kantor hari ini chaos banget. Bunda dan Ayahmu jadinya harus lebur malam ini. Kamu nggak papa kan sama Abangmu dulu di rumah? "

Kalau saja dia bisa, dia akan teriak 'Dia tidak suka di tinggal dengan abangnya yang dingin itu'. Sangat tidak suka. Tapi.

"Nggap papa bun. Bunda nggak perlu khawatir," jawabnya, berusaha menyembunyikan nada kesal dalam suaranya. Dia berbaring menatap malas langit-langit kamar.

"Bunda jadi lega dengarnya. Eh! Kamu udah makan malam belum? "

Ana meringis, "Mm belum Bun"

"Loh udah jam tujuh ini. Bunda tadi sudah suruh abangmu panggil kamu buat makan—"

Ana menghela napas dalam-dalam mendengar bundanya mengomel di seberang sana. Dia tidak habis pikir, kenapa harus sampai menyuruh Abangnya untuk masalah makan malamnya. Dia bukan anak kecil lagi. Bahkan ia bisa melakukan semua sendiri, tidak perlu harus selalu di dampingi.

"Oke oke Bun... Bunda udah ya, aku sekarang langsung turun. Nggak usah hubungi bang Arga lagi, mungkin dia lupa atau—"

"Baru aja bunda selesai telpon dia, masa sudah lupa. Emang an—"

Ana meringis, mulai kewalahan dengan Bundanya.

"Iya iya bun. Aku tutup dulu ya. Oke siap. Bay bunda cepat pulang, yaa!." Ana cemberut melihat layar ponselnya yang telah mati. Sikap protektif  Bundanya tidak pernah berubah. Justru semakin menjadi.

"Non Ana, baru aja bibi mau panggil," seru Bi Ijah melihat majikannya itu baru saja memasuki dapur.

Ana hanya tersenyum, berjalan mendekati meja makan. Dia menarik kursi lalu duduk. Makanan di atas meja semunya masih utuh. Berarti belum ada yang makan.

"Bang arg—"

"Malam bi"

Kursi di depannya tiba-tiba di tarik, membuat Ana langsung bungkam. Tubuhnya kaku beberapa saat sebelum berusaha menguasai dirirnya. Ana luar biasa canggung, dan takut. Dengan hati-hati dia menuang air putih di gelasnya, karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.

"Den Arga, rapi bener mau keluar ya?."

"Biasa bik," jawab Arga mulai mengisi piringnya.  Mulai dari nasi dan semua jenis masakan yang ada di meja itu semuanya tidak ada yang terlewat. Ana yang sejak tadi mencuri lirik mengeryit melihat porsi makan pria itu. Apa semua laki-laki makan sebanyak itu. Pantas saja tubuh kakanya begitu berisi.

Tidak ada suara selain deting sendok makan keduanya. Jangan harapkan ada obrolan hangat seperti saudara pada umumnya. Melihat pria itu mau satu meja dengannya, itu saja sudah luar biasa untuknya.



•••••

Ana pikir paginya akan cerah seperti biasa. Walaupun tidak selalu. Namun, tidak dengan hari ini. Perkataan Bundanya bagai badai untuknya pagi ini.

"Bunda serius?!." Ana berusaha menjaga intonasi suaranya, walaupun dia ingin sekali teriak sekarang.

Dan anggukan Bundanya seakan merenggut paksa seluruh tenaganya. Ia terkulai lemas, mengabaikan nasi goreng favoritnya. Jangankan untuk teriak, berbicara saja tenggorokannya seperti tercekat.

"Jangan sedih gitu dong. Bunda sama Ayahmu pergi cuma tiga hari. Nggak lama," ucap Nala lembut. "Kalau kamu kayak gini, bunda jadi nggak tenang tinggalin kamu, sayang."

Ana masih bergeming. Kalimat menenangkan bundanya tidak bisa masuk di kepalnya. Pikirannya tengah sibuk memikirkan nasib dirinya tiga hari kedepan. Mungkin sikapnya sekarang terkesan kekanakan. Namun, di tinggal hanya dengan Kakaknya yang kejam itu. Dia lebih baik, ikut saja dengan orang tuanya.

Ana menatap nanar kedua orang tuanya. "Harus banget ya Ayah sama bunda yang pergi ke sana?." Dia masih berharap mereka membatalkan rencananya.

Wisnu tersenyum, menepuk sayang kepala Ana. "Perusahaan cabang lagi ada masalah sayang. Dan cukup rumit. Jadi ayah sama bundamu yang harus turun tangan mengatasinya. Kalau tidak." Tangan ayahnya dengan main-main memperagakan memotong lehernya sampai mengeluarkan lidah. Ana tersenyum kecil melihat kelakuan random Ayahnya.

"Kan cantik kalau senyum gini. Anak ayah kan hebat, jadi jangan cemberut lagi."

"Jangan sedih lagi ya." Nala memeluk Ana, tapi belum mampu mengusir gelisah di hatinya.
















Haii.....
Stay healthy guys..
Selamat membaca🐰💜

















THIS IS LOVE [On Going]Where stories live. Discover now