25

30 2 1
                                    









Lima tahun kemudian.



Derap langkah kaki jenjang yang berbalut sepatu pantopel, beradu nyaring dengan lantai marmer yang sangat kontras dengan sepatu hitam mengkilatnya. Suaranya menjadi pusat perhatian semua orang yang berada di lobi. Fokus semua mata tertuju pada sang pemilik langkah. Beberapa kali para manusia yang berstatus karyawan di sana, menyapa sebagai bentuk menghormati sang atasan.

Dan para perempuan yang merasa tertarik dengan calon pemimpin perusahaan itu, akan segera sibuk merapikan penampilan. Mencoba peruntungan, siapa tahu bisa menarik perhatiannya. Namun untuk melirik sekilas saja, pria itu tidak tertarik. Karena waktunya terlalu berharga untuk di habiskan pada hal yang tidak berguna.

"Jadwal bapak hari ini sudah saya catat semuanya." Pria yang terpatut umur yang sama dengan bosnya itu, melangkah tergesa di samping sang tuan. Dengan tangannya sibuk menggulir layar tablet yang masih menyala. Benda yang selalu setia menemaninya kemana pun ia pergi.

"Jam sembilan ini bapak ada miting dengan calon investor baru sampai jam sebelas. Bisa kurang atau lebih, tergantung hasil kesepakatannya lama atau tidak. Dan-"

"Dimas?."

Pria yang baru saja di panggil namanya itu, segera memfokuskan netranya ke arah bos mudanya itu. " Iya? Apa jadwal yang saya tulis keli-"

Tangan pria itu terangkat, mengisyaratkan sekertarisnya untuk diam. " Bisa kamu bacakan semua jadwal saya hari ini, nanti setelah saya selesai sarapan.... Ini baru jam enam, Dimas. Dan saya butuh bernapas dulu, sebelum memenuhi semua deretan jadwal yang selalu numpuk itu."

Dimas, terseyum lebar mendegar nada sarkas itu.

"Kebetulan, saya juga belum sarapan pak" ujar Dimas semangat. " Bapak mau saya pesankan kopi? Biar sekalian sama saya."

"Terserah kamu." Langkah pria itu kembali bergerak cepat setelah keluar dari lif. Tujuannya sekarang adalah masuk ke ruangannnya secepat yang ia bisa. Karena tatapan para karyawannya sungguh sangat menganggu.

"Kalau gitu saya ke bawah dulu pak. Pesanan bapak seperti biasa kan?."

"Iya."

Dimas segera menyingkir dari ruangan atasannya itu, karena tahu pria itu lebih suka sendiri di ruangannya. Tidak pernah membiarkan siapapun masuk kecuali orang paling penting di perusahaan ini dan tentu saja dirinya. Dimas nyengir lebar, merasa bangga karena memiliki kesempatan itu.

"Bahagia banget kayaknya, Dim?."

Pria itu terlonjak mendapatkan tepukan di bahunya. Dimas berdecak melihat rekan sekantornya sudah nyengir lebar di sebelahnya.

"Biasa, sarapan gratis" ujarnya, lalu melangkah masuk ke dalam besi kotak yang akan membawa mereka turun ke lantai dasar.

"Lo mau sarapan juga?"

"Iya. Pagi gini gue butuh kopi, biar mata gue tetap melek sampe siang" jawab Leon. "Proyek yang di jogja gimana? Udah selesai?."

Dimas berdecak, "Belum. Makanya nanti si bos mau ngadain miting untuk bahas proyek itu."

"Kacau sih. Ini udah berapa bulan coba? Masih di tahap itu-itu aja. Padahal dananya cair terus."

Pintu life terbuka di lantai dasar, lalu mereka melangkah keluar.

"Emang... tikus-tikus sialan!" umpat Dimas kesal. Mengingat satu minggu ini dia harus lembur hanya untuk menyelidiki masalah di proyek itu. Dan akar dari semuanya tidak lain orang yang sangat berpengaruh di sana.

Leon tertawa, menepuk bahu Dimas untuk memberi semangat rekan kerjanya itu. "Pak Arga pasti udah tahu siapa di balik semua ini kan?."

Dimas mengangguk lalu duduk setelah mendapat meja yang kosong di restoran langganan bosnya- Arga Diwantara. Calon penerus perusaahan ini. Pria itu baru tiga tahun mengabdi di perusaahn ayahnya. Dan ini tahun ke empatnya. Dimana tahun ini bosnya itu akan menggantikan posisi ayahnya yang menjabat sebagai CEO.

Dimas dan Leon kembali membahas masalah perkembangan proyek jogja yang menjadi topik hangat di kantor pusat saat ini. Tidak lama pelayan datang menanyakan pesana mereka. Seperti biasa, Dimas menyebut pesana bosnya dulu untuk di bungkus sedangkan dirinya memilih makan di sini.

Tempatnya masih di gedung yang sama karena merupakan salah satu milik perusahaan juga. Sebenarnya sudah tersedia kantin tempat para karyawan, tapi jika sudah bosan dengan menu yang ada di sana. Mereka lebih memilih ke sini, seperti sekarang. Dekat juga, hanya perlu turun ke lantai dasar.

"Kalau bos udah turun tangan. Bakal kelar dah tu para bedebah sialan!."

"Mereka kira bisa main-main di perusahaan ini kayaknya" ujar Leon dengan senyum sinisnya.

Dimas mengangguk setuju. Lihat saja nanti, apa yang akan di lakukan bos mudanya itu.

•••••••••

"Saya akan kirim dua orang pusat ke jogja untuk memantau lebih dulu, sebelum saya datang."

Sepuluh kepala di ruang miting mengangguk, menyetujui rencana pria yang mereka biasa panggil pak Arga. Sosok tegas itu terlihat gagah di balik jas hitam yang menenggelamkan tubuh atletisnya.

Miting berakhir, Arga lebih dulu meninggalkan ruangan di susul sekretaris setianya, Dimas. Pria itu mengejar langkah lebar atasannya dengan sedikit berlari. Untungnya dia tidak pendek, sehingga tidak perlu kesusahan mengejar langkah lebar pria itu.

"Dimas?"

"Iya pak." Dimas berdiri siap sedia di depan meja atasannnya itu.

Arga mengetuk meja di depannya dengan jari telunjuk. Terlihat tengah berpikir. " Siapkan semua kebutuhan mereka di jogja, agar mereka berdua tidak perlu repot setelah sampai di sana. Dan satu lagi...."

Dimas mengangguk, mencatak semua perintah Arga di otaknya.

Tatapan Arga berubah tajam, terlihat menakutkan di mata Dimas. "Dan jangan sampai ada yang tahu kalau saya akan ke sana.... Kita beri kejutan untuk mereka."

Senyum devil Arga membuat Dimas bersorak senang dalam hati. Ini yang dia tunggu-tunggu. Saat atasannya ini sudah turun tangan, maka berdoa saja supaya nama kalian masih ada di perusahaan.

Para tikus sialan! Kami datang. Dimas keluar dari ruangan Arga dengan seluas senyum yang begitu lebar. Seolah baru saja mendapat bonus akhir tahun. Sudah lama ia ingin melihat Arga bergerak menghabisi para penghianat itu.









💜🐰Stay healthy guys.













THIS IS LOVE [On Going]Where stories live. Discover now