18. IGNITES >>Perhatian Tersembunyi<<

Start bij het begin
                                    

Wira memang gila kerja. Dia ingin apa yang dia inginkan harus segera tercapai dengan cara apapun, termasuk mengorbankan anaknya sendiri.

Wildan dan Wilona adalah korban yang merasa bukan korban. Mereka mengira apa yang Wira putuskan adalah yang terbaik untuk masa depan mereka.

Mata Wildan tertuju pada Wilona yang baru saja turun dari lantai 2. Gadis itu membawa map hasil ujiannya minggu lalu.

Mereka sempat bertemu tatap beberapa detik, sebelum akhirnya Wilona yang membuang muka lebih dulu.

"Kalian nggak berantem, kan?" Tanya Wira saat Wilona sudah duduk tak jauh darinya.

"Nggak, Pa," jawab Wilona, pelan.

"Tunggu, ya. Papa masih ngecek kerjaan kakak kamu," kata laki-laki paruh baya itu.

Wilona hanya diam menunggu Papa selesaikan punya Wildan. Dia tidak begitu bersemangat kali ini. Padahal biasanya dia orang yang paling semangat ketika Wirawan pulang ke rumah.

"Kita liat hasil ujian kamu," Wirawan mengambil map itu. Dia membaca satu per satu lembaran dengan berbagai judul. "Akhir-akhir ini kamu nggak laporin kelakuan kakak kamu yang nyebelin ke Papa," katanya.

"Lona sama kak Wildan sibuk sama urusan masing-masing. Jadi jarang ketemu," jawab Wilona apa adanya, membuat Wildan berdehem pelan.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Minggu ini dia menginap di rumah Ziya. Berarti minggu depan jadwal dia untuk jadi tuan rumah.

"Pa, dua minggu lagi teman-teman Lona mau nginep di sini," kata gadis itu.

"Terus?" Tanya Wira tanpa menoleh. Dia masih sibuk dengan hasil ujian anak gadisnya.

"Boleh nggak, Lona dekor kamar buat sementara? Dikit doang, kok. Biar nggak monoton aja," lanjut Wilona.

Wira tersenyum ke arah putrinya. "Kita liat dulu nilai ujian kamu minggu lalu."

Jawaban Papanya membuat Wilona jadi tambah murung. Pasti akan ada bermacam alasan agar dia tidak dapat izin.

Hal itu menarik perhatian Wildan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Dia memperhatikan wajah Wilona yang tak tersenyum sama sekali.

Tiba-tiba Wirawan menghela napas. Laki-laki itu menggeser kertas ujian bahasa Mandarin ke arah Wilona.

"Nilai apa ini, Lona?" Tanya Wira dengan nada yang berubah galak.

Wilona terdiam. Dia menatap lembaran hasil ujiannya itu tanpa berkedip.

"Nilai Lona paling bagus kok, Pa. Mr. Yu bilang hasilnya sangat baik," jawab Wilona dengan nada ragu, karena melihat raut wajah Papa yang tidak bersahabat.

"Kamu terlalu banyak main sama teman baru kamu. Bulan lalu kamu dapat A, Lona."

"Iya, Pa. Tapi bulan lalu cuma evaluasi doang."

"Kalo gitu kenapa sekarang cuma dapat B+? Ini jelek, Lona. Mr. Yu nggak mungkin kasih nilai segini kalo emang hasilnya sangat baik," tegur Wira.

Wilona terdiam membisu. Dia benar-benar sudah berusaha semampunya agar selalu mendapat nilai terbaik dari yang lain.

"Lona ... minta maaf, Pa," ucap Wilona sambil menunduk dalam.

"Nggak boleh ada dekorasi apapun di kamar kamu. Bilang ke teman-teman kamu kalo kita belum bisa terima tamu siapapun itu. Perbaiki nilai kamu dulu," perintah Wira. Gadis itu mengangguk lesu sebagai jawaban.

Dia beranjak dari duduknya, hendak kembali ke kamarnya.

"Jangan terlalu sering main. Jangan mengaku kamu udah berusaha kalo nilai kamu masih jelek," lanjut Wirawan.

IGNITES Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu