0,0 PERMULAAN

558 28 1
                                    


Seorang remaja mengendarai motor sportnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Jalanan yang sepi dan lengang membuatnya leluasa. Jam juga sudah mendekati tengah malam. Ia melambatkan lajunya saat melihat seseorang yang terlibat perkelahian.

"WOY!!" Teriaknya lantang.

Lelaki itu lantas membantu seseorang yang sudah tergeletak lemas dengan darah di mana-mana. Dapat ia lihat kesadarannya hampir terenggut. Pria itu sepertinya lemas karena banyaknya darah yang keluar dari robekan di kepalanya. Lelaki dengan pakaian serba hitam itu dapat menghindar dan mengalahkan si lawan.

Merasa kalah kekuatan, Segerombol pria bertato itu kabur dengan keadaan babak belur. Ada juga yang langkahnya terseok-seok. Lelaki yang berhasil mengalahkan lantas membantu pria yang terkapar. Ia segera membawa tubuh lemah itu ke rumah sakit. Beruntungnya, pemuda yang ditolongnya mengendarai mobil. Jadilah ia bisa lebih mudah membawanya ke rumah sakit.

Pemuda dengan masker hitam serta hoodie serupa itu menduga orang yang di tolong merupakan korban percobaan pembunuhan. Bola mata beda warna itu membuat korban mengingatnya di sisa kesadarannya. Meski ia ragu, apakah itu asli ataupun soflens.

Tepat di lobi rumah sakit, sudah ada beberapa tenaga medis yang menyambut. Korban pun di pindahkan ke branker pasien dan dilarikan menuju ruang oprasi. Luka yang didapat cukup dalam. Pihak rumah sakit menghubungi keluarga korban dan anggota kepolisian setempat.

Tiga bulan kemudian....

Abizar Arshaka, nama itu tertulis di name tage seorang siswa yang berdiri di di samping pos satpam sekolah. Mang Indro, petugas satpam yang berjaga menghela nafas lelah. Pasalnya siswa kelas sepuluh itu sudah terlambat sebanyak 10 kali dalam bulan ini.

"Shaka, Shaka... kamu ini nggak kapok apa, dihukum Pak Iwan?" Tanyanya.

Pak Iwan merupakan guru bimbingan konsling di SMA tersebut. Di atas pagar yang menjulang itu bertuliskan SMA Anagatha. Satpam yang sudah mengabdi selama lebih dari 10 tahun itu memang sudah berkriput. Akan tetapi badannya terlihat bugar.

Shaka, anak itu, menggeleng pelan. "Enggak lah Mang, kan bisa sekalian olahraga."

Mang Indro menggeleng tak habis fikir. "Hadeh kamu ini-"

Ucapan Pak Indro terpotong karena suara klakson mobil yang ingin memasuki gerbang. Pak Indro lantas membukakan gerbang untuknya. Shaka merasa tidak asing dengan mobil itu. Apalagi pengendaranya.

"Mang, saya tadi udah izin sama Pak Damar." Pemuda itu lantas memberi bukti chat pada Mang Indro.

Pak Damar merupakan satpam selain Mang Indro. Shaka menggumam pelan kala mobil itu melaju memasuki lingkungan sekolah. "Oh pantes, Janardana Milan Anagatha, putra tunggal keluarga Anagatha."

"Ngapain kamu bengong? Udah sana masuk kelas! Saya kasih keringanan karena hari ini ada kumpulan para donatur."

Shaka melotot kaget. "Lah hari ini? Bukan besok?"

"Hari ini Aden Kasep! Ke kelas sana!" Pintanya sembari mendorong pelan tubuh Shaka.

Shaka yang memang tidak mengendarai kendaraan pun berjalan gontai menuju kelasnya. Belum ada sepuluh langkah ia sudah menghela nafas lelah. Pasalnya jarak antara gerbang dengan lobi sekolah saja sekitar 100 meter. Belum lagi menuju kelasnya yang berada di gedung belakang.

Shaka beberapa kali berhenti lantaran mobil dari para donatur lewat dengan kecepatan sedang. Anak rambutnya melambai terkena angin. Saat ini sudah pukul delapan pagi. Di SMA Anagatha memiliki sistem yang sedikit berbeda, yaitu memiliki jam masuk pukul 07.30 pagi. Sepuluh menit Shaka berjalan, akhirnya sampai di kelasnya yang berisik lantaran ditinggal oleh guru.

Siswa itu lantas membuka pintu. Semua pasang mata tertuju pada Shaka. Ia dengan santai memasuki kelas dan duduk di bangkunya. Setelahnya kelas kembali brisik. Shaka mengalihkan pandang pada lapangan basket di bawahnya.

"Gue kira lo nggak berangkat." Ucap salah satu teman sekelasnya sekaligus sahabatnya. Ia mengambil kursi kosong di sebelahnya. Lalu mendudukinya.

Azidan Kaisar Megantara, salah satu anak dari donatur sekolah swasta ini.  Shaka menatap kearah Kaisar. Ia kemudian menelungkupkan kepalanya. "Sebenernya gue males, tapi bokap gue yang maksa."

"Bokap lo dateng?" Tanya Kaisar lirih.
Shaka mengangguk pelan. Matanya terpejam sesekali muncul kerutan di dahinya. Kaisar tidak menyadarinya. Sebab Shaka yang membelakanginya dan ia sendiri yang sibuk memainkan ponselnya.

Kaisar mendengar ringisan pelan dari Shaka. Ia menoleh dan mengguncang pelan tubuh Shaka. "Sak! Lo kenapa?"

Shaka menggeleng pelan. Namun tidak dengan tubuhnya. "Kai suruh mereka pergi." Lirihnya.

Pemuda blasteran itu menuruti ucapan Shaka. Tak lama Nafas Shaka mulai teratur. Kali ini kepalanya menghadap Kaisar namun matanya masih terpejam. Kaisar mengambil tisu yang berada di laci meja Shaka.

"Lo kecapean, Shak?"

Shaka membuka matanya, ia mengerjap guna menyesuaikan cahaya. "Nggak tau."

Kaisar berinisiatif menyentuh kening Shaka. Belum juga mendarat, Shaka sudah menepisnya. "Jangan dipegang!" Ketusnya dengan suara pelan.

Tatapan permusuhan itu tak berlangsung lama. Shaka kembali memejamkan matanya. Suasana kelas masih saja ramai. Si ketua kelas pun tidak memberi peringatan. Ia malah ikut menjadi tim pengacau.

Pandangan Kaisar tertuju pada sudut ruangan kelas. Ia dapat dengan jelas melihat sosok hitam yang perlahan menghilang. Auranya nggak bagus. Pantesan Shaka letoi... batinnya.



Bersambung...

Sebenernya ini bukan cerita pertama yang aku publikasi, tapi nggak sampe tamat.
Kali ini aku bertekat bakalan tamati cerita ini.

Mohon doanya ya semua...

GRAHITA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang