Why?

7 2 0
                                    

Sedari beberapa jam yang lalu aku tak kunjung melihat batang hidung pesek milik bapak. Awalnya, aku pikir bapak akan singgah ke masjid terlebih dahulu sebelum pulang. Akan tetapi, setelah waktu isya telah lewat aku memutuskan mencari bapak. 

Mesjid yang biasa bapak datangi telah kosong, hanya ada marbot mesjid yang sedang membereskan karpet. Aku segera bertanya padanya tentang keberadaan bapak, jawaban menyebalkan yang aku dapati bapak tidak berada di sana sejak beberapa jam lalu.

Aku benar-benar panik, sekembalinya dari mencari bapak di mesjid aku segera kembali menuju rumah untuk memastikan keberadaan bapak. Dengan jantung yang berdetak lebih kencang, langkah penuh ketakutan membawaku kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku segera memeriksa kamar bapak. Mulai dari lemari, kolong kasur, kolong meja, tidak ada tanda-tanda bapak berada disana. Biasanya bapak sering mengerjai ku seperti ini, menghilang dan selalu aku temui di tempat ini. Namun sekarang, bapak tidak berada disini dan entah mengapa perasaan mengganjal mulai menggerogoti hati.

Tak menemui bapak di kamarnya, aku segera memeriksa seluruh ruangan di rumah. Mulai dari dapur, kamar mandi, kamarku, lagi-lagi tak ada tanda-tanda bapak berada disana. Aku benar-benar panik, bola mataku memanas, pandang ku mengabur,  kelopak mataku telah memberat menampung air mata.

Ku ambil ponselku, menggulir aplikasi telepon dan memencet nomor Amalia yang akan kuhubungi. Satu detik, dua detik, dan detik ketiga suara serak khas bangun tidur langsung kudapati, "Ada apa?"

"Bapak-"

"Ada apa?" suaranya terdengar panik. "kau tunggu disana dan tenanglah aku akan segera kesana," pesan amalia mengingatkanku. Sedetik kemudian telepon terputus dan saat itu juga tangisku pecah.

Kugigit bibirku menahan jeritan, aku mengerjap berkali-kali, kutadahkan pandangan agar air mata tak lagi menetes bebas sesukanya. Aku tak tau lagi harus berbuat apa dan kemana mencari bapak, biasanya bapak tidak pernah seperti ini. Jika ia pulang terlambat maka ia akan menelepon, akan tetapi, sekarang? Bapak tak memberi sepatah katapun pesan. Ia seperti menghilang begitu saja terbawa angin.

Tak berselang lama, terdengar dentuman keras. Selain itu ketukan pintu pun berkali-kali terdengar. Merasa terusik aku segera keluar, siapa tau yang mengetuk pintu adalah bapak. Namun setelah pintu terbuka, tetangga ku seorang ibu-ibu yang menjadi pelaku penggedor pintu. Sungguh, aku benar-benar malas melihatnya

"Neng, ikut saya ya," ujarnya tanpa basa-basi menarik lenganku membawaku pergi bersamanya. Aku yang sedang dilanda kegalauan kehilangan bapak memberontak, kutarik lenganku dan segera kembali menuju rumah dan menunggu Amalia datang.

"Neng, tunggu, ada orang yang dari tadi manggil-manggil nama kamu," teriak wanita berumur kurang lebih sekitar 50 tahunan itu.

Mataku membulat, aku segera berbalik dan menyusulnya. "Siapa?" tanyaku penasaran.

Ia tak menggubris ucapanku, ia hanya memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan dan kembali menarik lenganku membawaku ikut bersamanya. Tak beberapa jauh dari rumahku, di seberang jalan di dekat tiang listrik kerumunan orang yang berbisik-bisik di sanalah langkah wanita itu terhenti dan ia lepaskan tanganku.

Aku berdiri dan menatap orang-orang yang mengerumuni sesuatu di depan mereka, namun tak sedikitpun aku berniat mencari tau apa yang mereka kerumuni. Akan tetapi saat aku hendak berbalik, suara serak lemah tak berdaya memanggil namaku.

"Cell...."

Kembali aku berbalik dan menerobos warga kampung yang mengerumuni sesuatu di hadapannya. Ketika berhasil menerobos dan mengetahui apa yang mereka kerumuni, aku tak mampu bernafas dengan baik. Mataku terbelalak, kugigit bibirku, ujung dress selutut yang kukenakan telah kerucut dalam genggamanku, tubuhku seakan-akan kehilangan tulang.

Aku benar-benar tidak berdaya, tubuhku terjerembab hingga dress putihku sebagian telah memerah akibat darah yang tak henti-hentinya mengalir dari kepala wanita tersebut. Tanganku telurur memegangi tangannya yang telah berubah sedingin es, kutatap wajah penuh kesakitannya dengan mataku yang telah mengabur dipenuhi air mata.

"Jaga diri kau baik-baik," pesannya. Ia terbatuk-batuk mengeluarkan bongkahan darah dalam setiap batuknya. Bibir pucatnya menipis menciptakan senyum getir, aku tak sanggup lagi menahan air mata.  Air mataku mencelos dengan bebas tanpa henti membasahi hingga dagu.

Lagi-lagi ia terbatuk-batuk mengeluarkan bongkahan darah, tubuhnya mengejang-ngejang hingga akhirnya terdiam dan seluruh tubuhnya terkulai lemah. Aku benar-benar panik, kuletakkan dua jariku pada nadinya, dan...

"AMALIAAA!!!"

Aku berteriak sekeras-kerasnya, aku menangis sejadi-jadinya tak memperdulikan penampilanku yang sudah seperti pasien rumah sakit jiwa yang menghilang. Nafasku semakin memburu, dadaku naik turun, nafasku semakin tak karuan. Aku benar-benar gila, aku tak bisa mempercayai ini.

"Ini tidak mungkin! Ini tidak benar. Ini bukan Amalia, aku yakin itu. Aku yakin orang gila lah yang telah menyamar menjadi dirinya dan melakukan hal seperti ini. Ini bukan Amalia!!!" aku menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Ini gila, aku benci, ini tidak benar.

"Kasihan sekali wanita itu, dia terpental begitu kerasnya pada tiang listrik dan tubuhnya terpental begitu kerasnya pada jalanan dan terseret," bisik-bisik para warga yang menyaksikan hal tersebut.

"Wanita itu bernama Amalia dia teman dari gadis gila yang menangis ini."

"Kau! Kau gila, kau jangan berbuat kata seperti itu, itu tidak benar, bajingan bodoh pembuat kata!" bantahku pada mereka yang seenaknya berbuat kata seperti itu.

Orang-orang kembali berbisik dan tak lagi aku hiraukan. Aku kembali menangis sejadi-jadinya, tolong siapapun katakan padaku ini tidak benar, tolong katakan. Ini bukan Amalia, dia tidak mati, dia sedang dalam perjalanan kesini dia tidak mati.

"Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang ditakdirkan seperti ini? Apa Tuhan begitu percaya akan kekuatan pundakku? Tolong!!! Siapapun katakan dia tidak mati!" aku segera berdiri, memegangi kedua lengan wanita berumur 40 tahun, "Katakan padaku dia tidak mati, dia bukan Amalia, katakan padaku sekarang!" ku goyangkan lengannya sekencang-kencangnya hingga wanita itu hampir rubuh.

Wanita itu tak bersuara sedikitpun, ia hanya menatapku dengan tatapan yang kubenci. Tak ada jawaban, aku berpindah pada wanita berumur 50 tahun yang membawaku kemari tadi, "Katakan padaku, bibi, dia bukan Amalia, dia tidak mati tolong katakan, jangan diam seperti ini aku butuh penjelasan."

Wanita itu terisak seraya mengangguk. "Dia benar-benar Amalia, dia temanmu dan dia telah meninggal," ungkap wanita itu gemetar berderai air mata.

Mendengar jawabannya, aku tak terima, aku segera menjauh darinya dan memastikan kembali wajah wanita yang menyamar menjadi Amalia yang sekarang telah meninggal. Dan sialnya, setelah diperhatikan ini benar-benar Amalia, tahi lalat yang terdapat di atas dan bawah kelopak matanya sama dengan Amalia, kening yang terdapat bekas luk sayatan pun brnar ia miliki seperti Amalia. Namun jangan diharap aku akan percaya begitu saja, tanda terakhir adalah lengannya yang memiliki tanda lahir berwarna hitam dan luka bekas patah tangan adalah ciri paling benar dari Amalia.

Dan ... aku benar-benar tak bisa lagi menyanggah sesuatu yang aku hadapi saat ini. Ini benar Amalia, ini adalah Amalia, wanita yang tumbuh kuat dengan ribuan luka yang menemaninya telah menyelesaikan tugasnya di kehidupan dunia. Ia benar menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuanku.

"Aku telah kehilangan satu sayapku, Liaa."

DIFFERENT[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang