We, sunset, and sea

5 3 0
                                    

Kala itu langit memerah, burung-burung berterbangan kembali menuju sarang. Rumah-rumah penduduk telah tertutup rapat, bocah-bocah yang kesehariannya berlarian di sekitar kampung telah berada di masjid menuju azan berkumandang.

Tak bagiku dan Azrael, kala sebagian penduduk telah mengunci diri di dalam rumah, aku dan Azrael memutuskan untuk menuju pantai, berniat menyaksikan keeksotisan matahari terbenam.

Menjelang senja itu pantai semakin ramai, remaja-remaja telah menyiapkan ponselnya untuk mengabadikan momen manis sore ini. Begitu pula dengan aku, melalui kamera ponsel Android, ku abadikan air laut yang memerah akibat pantulan sinar matahari terbenam.

Tak lupa sesekali kuambil foto Azrael yang juga tengah mengabadikan momen manis sore ini, sangat manis. Jika melihat ketampanannya tatkala berubah seperti manusia, seketika aku terlupa jika ia bukanlah manusia.

"Manis sekali." gumam Azrael. Tersenyum manis melihat-lihat ponselnya. "Hei, kau coba lihat, pantai, matahari terbenam, dan kau, perpaduan yang sangat manis." imbuhnya.

Kontan saja sudut bibirku menenun senyuman, seketika pipiku terasa memanas. Apa ini? Apa ini kondisi seseorang tengah jatuh cinta? Oh, aku harap jangan sampai aku terjatuh dalam lembah cinta. Pastinya jika aku telah memutuskan untuk melabuhkan hati pada seseorang, aku akan selalu bergantung padanya. Apapun yang terjadi di hidupku, ia harus selalu berkontribusi. Sekalipun itu hanya untuk menentukan pakaian warna apa yang harus ku kenakan hari ini.

Dan sialnya, aku tak mampu menahan rasa. Kala netraku beradu pandang dengan netra hitam kelam miliknya, aku tenggelam dalam rasa yang tak mampu diutarakan oleh kata. Sorot matanya yang tajam seakan mampu menghantam benteng pertahanan hatiku.

"Hapus. Aku tidak suka." desakku tak suka. Tak akan kubiarkan perasaan ini menjalar hingga menyingkirkan akal sehat.

Azrael berdecih seraya mengibaskan tangan. "Kenapa? bukankah ini sangat cantik?" kembali Azrael mengabadikan wajah masamku bersama dengan langit dan cahaya senja.

"Hei, tolong ambilkan fotoku dengannya, paparazi kan saja."

Azrael menyoraki remaja yang tengah mondar-mandir di sekitaran tepi pantai. Seketika si gadis menoleh, lalu tersenyum mengambil ponsel dari tangan Azrael.

Tangan kekar Azrael merangkul pundakku, membalikkan tubuhku dengannya menghadap laut. Dan bodohnya aku hanya terdiam kala tubuhnya telah berdempet tak berjarak denganku.

"Sudah." gadis remaja itu memberikan ponsel pada Azrael, lalu kembali bergabung dengan rombongannya yang telah menantinya pada sebuah pondok-pondok kecil.

Reflek Azrael membuka galerinya, mengecek satu-persatu foto kami. Ya... cukup bagus, tapi tak bagus untuk kesehatan jantung ku. Melihat punggung kekarnya, jantungku berdegup kencang. Ditambah saat ini, saat ia tengah difokuskan dengan ponselnya, surai hitam legam yang sedikit basah beterbangan, menitik air dari rambutnya dan berlabuh pada batang hidungnya yang amat tajam.

"Jangan menatapku seperti itu, kau akan terpesona dengan pesonaku." sindir Azrael tanpa mengalihkan perhatiannya dari mengutak-atik ponselnya.

Seketika aku tersadar, terlalu larut hatiku dalam pesonanya hingga rasanya logika ku dikendalikan oleh perasaan yang membuat otakku tak mampu berfikir jernih.

"Lagu apa yang bagus untuk dijadikan pelengkap foto kita?" Azrael menggulir rekomendasi lagi dari Instagram.

Aku terdiam sejenak. Menggali memoriku mengenai lagu. Seketika aku mendapat ide, "Tetap dalam jiwa - Isyana Sarasvati."

Tanpa berfikir panjang Azrael mulai mencari, setelah bersua, segera ia putar musik tersebut. Meresapi setiap kata-kata demi kata, setiap nada yang dihasilkan alat musik.

Setelah beberapa waktu, wajahnya berubah masam. Segera ia keluar dari aplikasi, kontan saja musik terhenti. Dengan kasar ia masukkan ponsel ke dalam saku celananya. Lalu setelahnya ia menghenyakkan tubuhnya pada sebuah kursi plastik yang letaknya tak jauh berada di tempatku berdiri.

"Kenapa? tadi kau terlihat sangat bahagia. Lalu sekarang? wajah kau lebih kusut dari pakaian yang baru keluar dari mesin pengering pakaian. Apa yang terjadi?" tanyaku ikut mendaratkan bokong pada kursi plastik yang bersebelahan dengan Azrael.

Azrael melirik sekilas. Pandangannya kembali lurus pada langit yang tampak akan menggelap beberapa saat lagi.

"Kenapa?" tanyaku lagi. Benar-benar aku tak paham dengan perubahan sikap Azrael dalam waktu yang singkat.

"Kita memang berbeda. Kita dari dimensi yang berbeda, kita memang tak sama. Tapi, aku hanya ingin merasakan kebahagiaan yang tak pernah aku rasakan di dunia sebelumnya. Dan sekarang, di dunia yang berbeda, aku menemukan kau, seseorang yang mampu membuat hidupku terasa lebih berwarna. Kau mampu memberiku kebahagiaan dengan hal-hal yang sangat sederhana." urai Azrael panjang lebar. Masih bersikukuh enggan menatapku.

Aku menghela nafas berat. Aku tau, aku salah. Tapi, aku hanya mengemukakan pendapatku. Azrael bertanya lagu apa yang paling tepat untuk foto aku dengannya, tentu aku menyesuaikan si foto dengan keadaanku dengannya. Maka dari itu, kuambil lagu 'Tetap dalam jiwa' sebagai pelengkap dari foto itu.

"Maaf, aku ti-"

"Sudah, mari kita pulang."

Potong Azrael lekas, tak memberiku peluang untuk menjelaskan. Aku hanya menghela nafas berat, lalu mengekorinya.

                              ~o0o~

Langit hitam membentang bertemankan dengan ribuan bintang yang menemani tugas langit malam. Ditambah dengan bulan Purnama yang semakin memperindah malam ini.

Saat ini tubuhku berada di depan jendela kamar, berpangku tangan menatap lunglai pada bulan purnama diatas sana. Suasana sekitar semakin sunyi, suara tawa bapak-bapak yang duduk di kedai sebelah rumah telah menghilang sejak beberapa jam lalu, bocah-bocah dari mesjid pun telah pulang dan bercengkrama erat bersama selimut tebalnya.

Pun dengkuran bapak telah terdengar sejak beberapa jam lalu dari kamar sebelah. Kepalaku sangat berisik, mataku tak mau tertidur, berbagai macam cara telah kulakukan. Menghitung semut yang berjalan di dinding, meminum susu, memejamkan mata erat-erat, namun tak mampu membawaku menuju alam mimpi.

Pertengkaran kecilku dengan Azrael tadi sore begitu menganggu fikiran. Ditambah sepulang dari pantai Azrael tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Meski baru beberapa jam ia menghilang, rasa bersalah membuat waktu terasa berjalan begitu lama dan lambat.

Aku memang membenci Azrael dan mengharap ia pergi, tapi aku tidak ingin ia pergi tanpa pamit, apalagi pergi dengan cara yang tidak baik.

Semakin larut malam, semakin sunyi keadaan sekitar, semakin berisik pula isi kepala di dalam sana. Aku menunduk menatap kaki yang menjuntai, menyugar rambut pelan seraya menarik-narik pelan.

Tidak sopan sekali Azrael itu, datang tak diundang, pergi tak berpamitan. Jika ia bisa pergi tanpa perlu mengukir kisah, tidak apa, mati pun ia aku sama sekali tidak keberatan. Tapi, ia pergi dengan meninggalkan segudang kisah dan sebuah rasa yang tak diharapkan. Membuatku merasa seperti ada lubang hitam kosong ketika ia menghilang.

Segera aku menggeleng kuat. Menghilangkan fikiran serta rasa yang sama sekali tak ku harapkan. Apapun yang terjadi, mulai saat ini, aku tak boleh lagi memikirkannya, tak boleh lagi membiarkan rasa tersebut menyebar ke seluruh penjuru hati.

Tak akan kubiarkan jin bodoh itu memberi cinta palsu padaku. Tak akan kubiarkan cinta palsu itu membuatku lemah. Lantas aku berdiri, melalui sebuah kaca, ku rapikan rambutku serta menarik kedua sudut bibirku dengan telunjuk. "Cheers, you are strong women, honey."

DIFFERENT[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang