Dad?

8 3 0
                                    

Pagi ini kubuka mata penuh semangat. Pagi ini terasa sangat berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Saking berbedanya, yang mulanya aku jarang terbangun saat subuh, pagi ini entah apa yang terjadi mata ini terbuka dengan mudah.

Entah karena efek pertemuan kemarin malam dengan Azrael, entah karena tidurku malam ini sangat nyenyak, entahlah. Namun yang pasti adalah pagi ini terasa sangat tenang, dan semua hal yang memenuhi fikiran menghilang.

Rasanya semua beban yang dipikul menghilang, suara-suara yang memenuhi kepala telah sunyi senyap, rasa sakit pun juga ikut serta menghilang pagi ini. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka seperti ini, segera aku berdiri melenggang menuju kamar mandi bertujuan melepas daki tubuh yang melekat.

Pada perjalanan menuju dapur, Berlin tampak sudah sangat rapi dengan tas hitam besar di genggamannya. Kontan saja aku bersembunyi di balik tiang, mengamati setiap gerak-geriknya.

Berlin tampak gusar, menghidupkan ponselnya lalu mematikannya kembali. Ia berbolak-balik tak jelas, bahkan sesekali ia mengumpat saat melihat ponselnya.

Tentu saja aku semakin penasaran, apa yang dilakukannya saat subuh buta seperti ini? Apa yang dilakukannya sehingga ia terlihat sangat panik? Tak mau berlama-lama berlarut dalam kebingungan, aku memberanikan diri melangkah dekat dan bertanya padanya,

"Kenapa ibu terlihat sangat rapi di subuh buta ini?

Berlin berjengit kaget. Tas hitam besar yang berada di genggamannya terlepas menghantam kakinya. Seketika ia memekik seraya memegangi kakinya.

"Tidak apa-apa, kembali saja ke kamar, ibu akan pergi." jawab Berlin tanpa mengalihkan atensi dari kakinya.

Aku menggeleng. Aku harus tau apa yang dilakukannya, kemana ia pergi sebenarnya, kenapa ia selalu pergi subuh buta dan pulang saat matahari telah terbenam pada hari Rabu, aku harus tau. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dan janggal semenjak aku pertama kali melihatnya setelah beberapa tahun dan sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini.

Meski wajahnya terlihat sangat cantik dan awet muda, aku merasa ada sebuah kebusukan dan kebohongan besar yang ia lakukan. Dan hal itu berdampak pada ketidakakuran aku dengannya. Begitu pula dengan rumah ini, meski rumah ini sangat mewah namun tak mampu memberi kenyamanan.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memberanikan diri bersuara, "Sebenarnya kemana ibu pergi setiap hari Rabu?" tanyaku penuh selidik. Menatapnya lekat memastikan tidak ada sedikitpun kebohongan yang dipancarkan oleh wajahnya.

Dan sialnya, dilihat dari gelagatnya aku menemukan begitu banyak kebohongan yang disiratkan oleh wajahnya. Dan akhirnya aku tersadar, ada sesuatu hal yang tidak benar yang ia lakukan atau yang sedang menimpanya.

"Tolong jujur padaku, aku butuh kejujuran." racauku lemah.

Berlin masih setia terdiam. Membeku seolah waktu berhenti padanya.

"Tolong ... untuk kali ini saja jujur padaku. Aku hanya ingin kejujuran yang meluncur dari mulut ibu, bukan kebohongan."

Berlin tampak semakin gusar. Menyugar surai-nya kasar, matanya meliar tak mau balik menatapku. Kuku-kuku jarinya ia gigit-gigit.

Melihat gelagatnya aku semakin yakin ada sesuatu hal yang tidak baik yang sedang ia lakukan. Tentu saja hal itu sangat menganggu fikiran, kembali aku mendesaknya,

"Jujurlah padaku,"

"Oke! Oke, aku melakukan hal yang tidak baik demi kebaikan kau." final Berlin pasrah.

Aku mengernyit heran, "Apa yang kau lakukan?"

"Suatu hal, aku harap kau tidak mencoba-coba untuk mencari tahunya, jika waktunya sudah datang, aku pasti akan memberi tahu kau. Aku berjanji."

Aku menghela nafas pasrah. Jika ia sudah memohon seperti ini, mana mungkin aku mampu untuk menolaknya, bagaimana manapun ia tetaplah orang tuaku yang harus dipatuhi ucapannya.

"Kalau begitu aku pergi sekarang, jaga dirimu baik-baik, sayang." pesan Berlin. Sebelum meninggalkanku, ia beri kecupan singkat pada keningku.

Aku memandangi Berlin yang tergesa-gesa menuju pintu. Masih setia memandangnya meski ia telah menghilang di balik pintu. Setelah terdengar deru mobilnya menjauh, kutarik tubuhku menuju kursi.

Baru saja beberapa waktu lalu semuanya terasa begitu ringan, sekarang kembali kepala ini diberi beban. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Berlin? Perbuatan buruk apa yang ia lakukan demi aku? Jujur, aku rela hidup kekurangan dan tidur di bawah jembatan beralaskan kardus daripada tinggal pada rumah mewah dengan fasilitas yang serba ada namun dihasilkan oleh hal yang tidak baik.

Untuk saat-saat gila ini, solusi terbaik untuk menghilangkannya adalah menelpon Amalia dan menyuruh ia kemari. Meski aku harus mendengar segala umpatannya, tapi tidak apa. Meski demikian, ia masih bersedia datang ke rumahku tentunya tidak dengan tangan kosong.

Setiap ia kemari, ia tak pernah membebaniku. Setiap kemari ia selalu membawa makanan sendiri dan minuman sendiri. Selalu membersihkan barangku yang ia pakai, selalu membersihkan sisa makanan yang tidak sengaja ia tumpahkan.

Jujur saja, ketika ia datang kemari perutku tidak pernah disinggahi rasa lapar. Bukannya aku yang menyanjung tamu, malahan seorang tamu yang menyanjung tuan rumah.

Selang beberapa waktu, bel pintu berbunyi. Aku tersenyum sumringah, segera berlari membukakan pintu untuk Amalia. Namun, saat pintu terbuka, wajahku seketika berubah.

Sesuatu yang sudah lama terkubur kembali bangkit mengingat sebuah tragedi. Wajah biadab itu kembali ditangkap oleh indra penglihatan. Garis wajah yang menorehkan ribuan luka 16 tahun yang lalu.

Tenggorokanku tercekat seolah tak memberi celah untuk oksigen menerobos masuk. Dadaku terasa sesak, luka yang berada di dalam sana menyuyak lebar kembali. Pandanganku mengabur sebab air mata yang menggenang di pelupuk mata.

Aku memejam mata perlahan. Menghela nafas panjang menormalkan detak jantung. Mencoba berdamai, ku seka air mata kasar.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku seraya menatapnya angkuh. Menyembunyikan rasa takut akan sesuatu yang mengerikan pada 13 Juli 2007 tak terjadi kembali.

Kekehan bajingan meluncur dari mulut busuknya, dengan hentakan keras pintu terbuka lebar dan ia masuk membawaku bersamanya dalam dekapan.

"Lepas!" aku memberontak. Kakiku menyipak-nyipak, namun sayangnya tenaganya jauh lebih besar dariku.

Dengan menggunakan satu kaki, ia tutup kembali pintu tanpa melepas dekapannya. Membawaku menuju sofa, ia hempas tubuhku kasar, tatapan redupnya penuh akan nafsu iblis.

"Pergi!"

Aku berdiri, mendorong tubuhnya menjauh dariku. Namun sayangnya hal itu hanya sia-sia, ia malah memanfaatkannya dengan mendekapku erat seraya mencari-cari cara untuk mendapatkan bibirku.

"Tolong! Siapapun diluar sana, tolong!" teriakku sekuat tenaga. Tubuhku meliuk kesana kemari mencari cara lepas darinya.

Malangnya tidak ada sesiapapun diluar sana yang mau datang kemari. Hal itu tak menjadi alasanku untuk memberi tubuh untuk yang kedua kalinya, mataku meliar. Pada sebuah meja, terdapat sebuah pisau kecil pada bakul buah. Dengan sigap aku mengambilnya dan menancapkannya dalam.

Iblis itu kesakitan. Ia meringkuk memegangi pundaknya. Tak menyia-nyiakan kesempatan, segera aku berlari menuju pintu. Menarik-narik pintu kegilaan, pada saat-saat seperti ini aku harus membenci fitur pintu langsung terkunci saat ditutup.

Aku berlari menuju rak buku mencari kunci. Sialnya pisau tersebut tak lagi menancap pada tubuh iblis itu, melainkan menancap pada lengan kiriku.

Aku menjerit, aku kembali mengobrak-abrik rak dengan tatapan yang tak terelakkan dari sang iblis yang perlahan mendekat seraya tersenyum sinis.

"Kau mau kemana, jalang?"

Aku semakin kelabakan, untung saja sebuah kunci telah berada pada genggaman. Dan sialnya juga iblis itu semakin dekat.

Aku segera berlari, tergesa-gesa membuka pintu. Setelah pintu terbuka, baik aku ataupun sang iblis dan sesosok wanita berjaket kulit hitam dan jeans hitam yang berada di depan pintu mematung.

"Ayah?"



DIFFERENT[✓]Where stories live. Discover now