Lost and cooped up

8 3 0
                                    

Hari demi hari bergulir. Semenjak kejadian yang hampir merenggut nyawaku kala itu, Azrael tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya lagi.

Hari-hariku terasa begitu hambar. Berlin tak pernah lagi mengizinkanku keluar, setelah melihat beberapa bagian tubuhku memar dan pundak ku terdapat dua lubang kecil.

Kecuali jika aku ada kelas, dengan berat hati Ibu atau Berlin melepasku pergi. Entah karena alasan apa, semenjak Ibu melihat lukaku, mendadak ia menjadi orang tua yang protektif. Misal, aku tidak boleh memakan makanan sembarangan, tidak boleh keluar rumah jika tidak pergi kuliah, dan yang lebih parah, aku tidak diperbolehkan bertemu dengan bapak.

Gila. Tidak. Aku tidak bisa menyebutnya gila, ini lebih dari gila. Aku yang tipikal gadis yang hobi berpetualang dan sangat malas berkurung diri dalam kamar, harus terbiasa menghadapi overprotektif dari Berlin yang mengharuskan ku mengurung diri dalam kamar.

Dan dalam bahasa kasar, aku bisa dibilang gadis yang cukup liar. Mungkin sekarang aku akan memberi tahu kau sisi gelap ku yang kusimpan selama ini. Aku terjebak dalam lingkaran setan. Gadis pencandu, dan ketergantungan obat. Sakau.

Entahlah, entah karena apa aku bisa terjebak dalam lingkaran setan. Padahal, bapak orang yang agamis dan selalu mengajarkan ku hal yang baik-baik. Mungkin karena aku juga anak haram. Hasil dari hubungan inses antara Ibuku dengan adik kandungnya. Jadi, aku terpaksa menanggung karma dari perbuatan mereka.

"Marcellia, ayo makan malam bersama." Teriak Ibuku dari dapur.

Dengan langkah bermalas-malasan, aku menuruni tangga dan menemui ibu di dapur. Aku mendengkus kasar. Ketika Berlin sudah duduk manis di meja makan dan tersenyum manis padaku.

Ketika berada di depan meja makan, aku berhenti, menatap tak minat pada makanan yang disuguhkan olehnya. Selalu saja sayur-mayur yang diberikannya padaku. Jika dibilang tidak ada makanan selain sayur, tentu saja tidak. Berlin selalu memakan makanan tidak sehat. Seperti, makanan siap saji dan minum soda.

"Jangan memakan makanan tidak sehat seperti ini. Kau harus memakan sayuran agar tubuh kau sehat."

Begitulah kehidupanku beberapa hari terakhir. Ketika aku berniat untuk memakan makanan instan, Berlin selalu melarangnya dan menukarnya dengan sayuran yang membosankan.

"Tidak bisakah kau memberiku makanan kau sedikit saja padaku? Aku bosan memakan sayur seperti ini setiap hari."

Bujukku memohon-mohon padanya. Ya... meski sebenarnya aku tau jawaban Berlin adalah tidak. Tapi, tidak ada salahnya jika aku mencoba.

"Baiklah. Tapi, hanya kali ini saja."

Huh?! Benarkah? Aku tidak salah dengar, 'kan? Berlin mengijinkan ku memakan makanan instan? Oh, terimakasih Tuhan, ditengah kegilaan yang melanda, masih ada kewarasan yang tersisa.

Aku yang semula sama sekali tidak bertenaga, mendadak tenagaku terisi full. Benar-benar kalap, aku memakan semua makanan milik Berlin hingga tak bersisa sedikitpun. Bahkan saus tomat yang lengket di piring pun ku sikat.

"Rakus."

Aku membatu. Gelas ku terhempas. Tenggorokanku tercekat seolah-olah tak memberikan celah untuk air minum menggerogotinya.

Suara itu sangat familiar. Suara yang akhir-akhir ini tak lagi pernah kudengar. Namun, saat ini aku kembali mendengar suara itu. Antara bahagia dan jengah ketika mendengarnya.

Aku menoleh. Ternyata pemilik suara serak-serak banjir bandang itu ternyata Azrael si vampir bangkotan childish.

"Kenapa kau datang kembali?"

"Siapa?" Berlin menyernyit. Menatapku lekat penuh selidik.

Mendadak lidahku terasa kelu. Aish, bodoh. Bisa-bisa Ibu akan menganggapku gila. Karena yang ia ketahui aku berbicara sendiri.

"Tidak ada. Kalau begitu aku akan ke kamar dulu. Selamat malam."

                            ~o0o~

Aku meringkuk di sudut kamar. Rasa sakit dan cemas yang timbul efek dari tak meminum obat sungguh menyiksa. Terakhir mengkonsumsi obat beberapa hari yang lalu, sekarang tubuh ini kembali meronta-ronta ingin diberi obat haram dari negri entah apa.

Disaat-saat gila seperti ini, berbagai fikiran negatif pun tak ingin kalah menyiksaku.

Bagaimana jika Berlin menganggap aku gila? Bagaimana jika Berlin membawaku ke psikiater? Dan setelahnya aku akan direhabilitasi di ruangan yang mengerikan? Bagaimana jika Berlin membawaku ke dukun dan memisahkan ku dari Azrael? Sedangkan hanya Azrael yang dapat memberiku obat. Asal kalian tau, obat yang diberikan Azrael jauh lebih hebat dan nikmat. Hanya beberapa detik setelah meminumnya, rasa sakit dan cemas yang berlebihan seketika menghilang. Selain itu, obat yang diberikannya gratis. Garis bawahi gratis.

"Kau kenapa?"

Aku menoleh. Azrael menatapku prihatin. Sorot kekhawatiran tersirat jelas dalam iris hitam kelam miliknya.

"Kau menghilang beberapa hari, dan aku tidak dapat meminum obat lagi."

Azrael terkekeh geli. Saat itu juga ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan klip kecil yang berisi dedaunan kering yang menghitam.

Tanpa babibu, aku merampas klip itu dan mengkonsumsi dedaunan yang terkurung di dalamnya.

Lega.

Benar-benar lega. Entah jenis apa obat haram yang diberikan Azrael padaku, aku tidak peduli. Yang terpenting bagiku adalah dapat mengonsumsi obat itu dan sesaat setelahnya aku dapat menjalankan kehidupan normal seperti biasa.

"Sampai kapan kau akan seperti orang gila?"

"Sampai jadi debu~" setelahnya, aku terkekeh geli.

Azrael menatap datar. Agaknya yang terbayang di otaknya adalah aku akan selalu mengonsumsi obat haram, mendekam di penjara dan berakhir gila.  

"Jika kau terus menjadi pecandu, maka semua angan-angan kau akan tetap menjadi angan-angan."  

Aku termenung. Ucapan Azrael memang benar, tapi... untuk terlepas dari candu sangatlah sulit. Kau tau kan? Untuk terlepas dari candu, membutuhkan tenaga dan biaya yang lumayan besar. Sedangkan uangku pas-pasan. Tapinya lagi, aku tidak ingin terjebak dalam lingkaran setan.

"Jika kau mau terlepas dari candu, aku akan membantu."

Aku terkekeh miris. Membantu? Membantu dia bilang? Hei, dia yang menjadikanku seorang pencandu. Dia memanfaatkan saat-saat gila ku dikejar skripsi yang tak selesai-selesai revisi untuk menjebakku dalam mengerikannya lingkaran setan.

Jari-jari lentiknya menangkup rahang ku. Tatapan sendunya selalu berhasil meluluhlantahkan benteng penjaga hatiku. Tapi jangan harap aku akan terbujuk lagi dengan tatapannya. Terakhir terbujuk rayuannya, aku harus menanggung karma gilanya lingkaran setan. Benar-benar tak tau lagi bagaimana caranya untuk keluar dari lingkaran setan. Bukan! Ini bukan lingkaran setan, tapi labirin rumit tak berjalan keluar.

"Jika kau tidak percaya yasudah. Tugasku hanya ingin membantu kau dan memastikan kau baik-baik saja."

"Jika kau ingin keluar dari labirin, perbaikilah hubungan dengan Tuhan."

Aku termenung. Apa aku harus mempercayai Azrael satu kali lagi? Aku ragu. Tapi... ucapan Azrael memang benar adanya. Untuk menyelesaikan masalah, harusnya meminta jalan keluar pada Tuhan, bukan pada jin dan berakhir dengan terjebak dalam labirin rumit seperti ini.

"Coba ingat, kapan terakhir kali kau beribadah?"

Lagi-lagi aku termenung. Dadaku selalu sesak mengingat betapa buruknya hubunganku dengan Tuhan. Tuhan tak pernah menjauhiku, tapi aku selalu menjauh darinya. Ketika hariku buruk, aku selalu teringat Tuhan. Bukan meminta maaf padanya, melainkan menyalahkannya menempatkan ku pada nasib buruk. Dan ketika hariku baik dan semuanya berjalan lancar, aku tak pernah mengingatnya. Bahkan untuk mengucap syukur saja aku tidak pernah.

Sekarang aku terpuruk dalam gelimang dosa. Apakah masih pantas tubuh dan jiwa ini kembali dan memohon maaf pada-Nya meminta ampunan atas semua dosa yang diperbuat? Apakah masih pantas?

"Sejujurnya, Tuhan lebih menyukai pendosa yang ingin bertobat daripada orang yang saleh tapi tak pernah merasa salah."

DIFFERENT[✓]Where stories live. Discover now