14

35 4 0
                                    

"Lo Ana kelas X IPA dua?." Gadis ber-nametag Cinta itu menatap intens Ana dan Gea."Right?."

Ana mengaguk ragu walau tidak mengerti alasan tiga perempuan ini menghadang langkahnya. Mengejutkan lagi sampai tau namanya. Ana yakin tiga gadis ini kakak kelasnya. Di lihat dari dandanannya saja jelas banget.

"Oh... ternyata...." Cinta terseyum meremehkan. "Jauh benget."

Oke. Ana tidak tahu dan tidak perduli dengan gadis di depannya sekarang. Ataupun penilaiannya yang Ana yakin sekali merendahkan diririnya. Tapi, atas dasar apa?. Kenal saja tidak.

"Gue cuma mau tau. Lo ada hubungan apa sama Arga? Kenapa lo bisa dateng bahkan pulang bareng terus sama dia?. Gue cuma mau tau aja, santai."

Oh tentang itu. Ana mulai mengerti penyebab tingkah pongah gadis di depannya sekarang. Ia sebenarnya menanti lama pertanyaan seperti ini. Dari pertama kali dirinya memutuskan satu sekolah dengan Arga. Dia tahu. Banyak sekali bisik-bisik gosip yang dia dengar beberapa bulan terakhir. Berawal dari Arga yang mulai mengisi jok belakang motornya yang semulanya tidak pernah di duduki siapapun dengan tiba-tiba si murid baru entah siapa malah mengisi ruang kosong itu. Bahkan setiap hari. Sampai mereka tidak bisa membendung rasa penasaran siapa gerangan murid baru itu?. Dan sekarang, perempuan cantik ini akhirnya menjadi orang petama yang datang menemuinya untuk bertanya hal tersebut. Sepenting itu kah?. Ana rasa iya.

Kalau dia jawab ia adalah adik Arga. Apa mereka akan percaya?. Sepertinya mereka akan tetap percaya melihat bagaimana kedekatan keduanya. Tapi masalahnya. Apakah Arga tidak akan marah jika ia mengaku demikian. Walaupun akhir-akhir ini sikapnya mulai sesikit berubah padanya. Namun Arga tidak pernah berkata sudah menerima dirinya di keluarga ini atau masih menolaknya. Kata itu tidak pernah keluar dari mulutnya. Arga tidak pernah kembali membahas perdebatan di pantai waktu itu. Jadi, apakah dia harus jujur atau tidak?.

"Kenapa diem?." Gadis itu mulai tidak sabar dengan kebungkaman Ana. "Gue nggak akan apa-apain lo. Jawab aja."

"Aku ... aku a—" Ponselnya berdering menghentikan kalimatnya. Nama Arga tertera di layar, dan tanpa menungu lama dia langsung mengangkatnya.

"Ini masih di koridor. Iya, bentar lagi sampe kok." Ana menatap tidak enak tiga gadis di depannya setelah panggilan berakhir.  "Maaf kak. Aku harus pergi, lagi buru-buru soalnya. Duluan ya kak."

Ana terseyum kecil lalu menarik Gea yang hanya diam di sampingnya.

•••••••

"Bang Sarga udah makan?" tanya Ana, berhenti di dapur saat melihat sahabat kakaknya ada di situ.

Sarga menoleh, lalu terseyum lebar. "Baru balik?."

"Iya." Ana lalu duduk di depan pria itu. "Bang Sarga udah makan?." Dia mengulang pertanyaannya karena belum di jawab.

"Udah, tadi Arga beli dulu baru jemput lo."

Ana mengagguk tidak bertanya lebih lanjut.

"Lo udah makan? Kalau belum masih ada tuh. Arga sengaja beli banyak tadi." Sarga bangkit setelah menadaskan air putihnya ."Gue ke depan dulu. Arga di sana ka?."

"Iya." Ana melihat punggung Sarga yang menghilang di balik dinding pembatas dapur dengan area bengkel. Pandangannya beralih melihat lauk pauk yang ada di depannya. Lalu berdecak, gemas dengan kakanya itu. Kenapa harus beli lagi coba. Ia kan bisa memasak untuk mereka. Tapi Ana tetap memakannya karena ia kebetulan lapar juga. Sayang kalau sebanyak ini nanti harus di buang.

Jam sepuluh malam Arga naik ke lantai dua dan menemukan Ana yang lagi-lagi tertidur di sofa. Ia menghela napas mendekat.

"Ana bangun. An... bangun, kita pulang."

THIS IS LOVE [On Going]Where stories live. Discover now