Chapter 26

19.2K 1.6K 125
                                    

Chapter 26 : Run away to get happy ending

Dengan rutinitasku yang masih sama seperti biasa, hari demi hari berlalu tanpa terasa. Kini sudah hampir satu bulan sejak insiden penculikan yang kualami.

Di luar jadwal harianku, hari ini aku dan Ayah datang ke istana kekaisaran karena menerima undangan pertemuan pribadi dengan Kaisar.

Ketika memasuki ruangan, rupanya tidak hanya sang Kaisar yang telah menunggu kedatangan kami. Ada Yang Mulia Permaisuri dan Putra Mahkota Wilhelm juga di sana.

Aku menundukkan kepala, memberi salam hormat pada mereka, sang penguasa kekaisaran. Begitu pula dengan Ayah—meski gesturnya sedikit acuh tak acuh.

"Mari duduk," ujar sang kepala negara.

"Terima kasih, Yang Mulia," balasku.

Aku dan Ayah pun akhirnya ikut duduk di kursi kosong yang tersisa.

"Jadi, kenapa anda memanggil, Yang Mulia?"

Dengan wajah agak masam, Ayah berujar setengah minat, tanpa basa-basi. Sepertinya ia masih kesal.

Karena undangan mendadak dari Kaisar, kami jadi membatalkan rencana piknik yang telah dijadwalkan sejak jauh-jauh hari.

Bagi Ayah, pergi piknik denganku jauh lebih penting daripada menemui Kaisar. Kalau bukan karena aku yang telah berusaha keras menahannya, Ayah pasti akan mengabaikan titah Kaisar dan membawaku pergi piknik saja seperti apa yang telah ia jadwalkan daripada datang ke istana seperti ini.

"Sepertinya kau sedang sibuk karena sangat terburu-buru seperti ini," kata Kaisar.

"Memang," sahut Ayah sinis.

Tentu saja aku segera menyikut pinggang Ayah, mengingatkannya dengan isyarat untuk memperbaiki sikap di hadapan Kaisar. Namun, Ayah justru bilang,

"Aku tahu apa yang kulakukan. Kau diam saja."

Aku mendengus dengan ekspresi datar juga mendelik mata, pasrah.

Alhasil, aku hanya bisa membiarkan Ayah melakukan apa pun sesukanya. Karena sifat dasar Ayah adalah keras kepala, percuma saja jika mengingatkannya lagi sebab ia tetap tidak akan mau dengar.

"Baiklah. Karena kau tidak mau berbasa-basi, aku akan langsung bicara ke inti," ujar Kaisar.

"Ya," sahut Ayah asal.

"Mari jodohkan putra-putri kita."

"... YA?!"

Bukan hanya Ayah yang terkejut, aku pun juga sama—meski tidak menyuarakannya dan hanya membelalakkan mata.

"Tidak! Apa-apaan?! Saya tidak setuju!"

"Bukankah ini keputusan yang akan sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak? Jangan langsung menolak. Setidaknya pikirkan terlebih dah—"

"Tidak. Akan. Pernah!"

Sang Kaisar menghela napas panjang karena mendapat penolakan tegas dari Ayah. Namun, sama seperti Ayah, ia pun juga kukuh pada keinginannya.

"Bukankah keterlaluan untuk menolak? Lagi pula, memangnya siapa lagi calon mempelai pria yang lebih baik daripada putraku yang merupakan seorang putra mahkota? Tidak ada, Tuan Grand Duke of Morgan. Jika kau terus bersikap seperti ini, bisa-bisa putrimu tidak akan menikah hingga tua. Atau mungkin, kau memang ingin putrimu tidak menikah juga sampai tua, seperti dirimu?"

Sepertinya terbalik. Di mataku, justru Kaisarlah yang keterlaluan. Dia lah yang telah bicara dengan sangat lancang.

Apa-apaan kata-katanya itu? Karena ditolak, kenapa ia malah menyudutkan dan menghina Ayah?

Young Lady, Helene Morgan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang