Chapter 10

22.3K 2.1K 8
                                    

Chapter 10 : Dive into the past (3)

<Flashback ; Gerald POV>

Aku sudah gila. Itu pasti, aku yakin.

Karena jika tidak, mana mungkin aku akan nekat menyelinap keluar rumah setiap malam, menempuh waktu perjalanan satu setengah jam menunggang kuda hanya untuk melihat seorang bayi selama sepuluh menit per hari.

Aku benar-benar gila kan?

Entah akal sehatku sekarang berada di mana. Aku sudah kehilangannya.

Sejak pertama kali melihat bayi itu ketika baru dilahirkan, aku tidak pernah absen mendatanginya.

Aku juga sudah membebaskan Lennox dari tugasnya memata-matai Katerina. Toh, aku pun akan datang ke gubuknya setiap malam—hanya dengan niat untuk melihat keadaan putriku, tentu saja—jadi, meski tanpa disengaja, aku pasti akan tahu gerak-geriknya sendiri.

Setelah satu bulan berlalu, aku jadi semakin terbiasa dengan rutinitas baruku—mengunjungi putriku diam-diam. Selain itu, tidak ada yang berubah dalam hidupku. Aku masih sering datang ke perjodohan yang disiapkan Ibu dan mencari cara menggagalkannya setiap saat-aku tidak ingin menikah, sungguh.

Kini waktu mengalir seperti air, berlalu tanpa terasa. Namun, ada satu momen di mana waktu seakan berhenti, dan hatiku terasa sakit.

Itu terjadi ketika aku pertama kali melihat ada memar keunguan di tangan makhluk mungil yang selama ini kujaga dan kurawat baik-baik.

Aku sering terluka ketika sedang bertarung dan berlatih pedang dulu, tapi aku tidak pernah kesakitan. Namun, kenapa aku justru merasa sakit ketika melihatnya terluka? Apakah ini yang dinamakan ikatan batin antara ayah dan anak?

Aku tidak banyak menduga. Kukira itu hanya luka biasa akibat terbentur. Jadi, di malam berikutnya aku membawa obat oles dan diam-diam mengobatinya. Namun, anehnya luka-luka itu terus bertambah setiap harinya dan justru jadi semakin parah.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ditambah lagi aku hanya bisa datang di malam hari, dan itu pun tidak pernah lebih dari lima belas menit.

Jadi, tidak ada tindakan preventif yang bisa kulakukan untuk mencegah timbulnya memar-memar baru di tubuh putriku. Aku hanya bisa mengobati luka-lukanya, tidak lebih.

Fakta itu cukup menggores egoku. Sebagai ayahnya, apa hanya ini yang bisa kulakukan?

Selain itu, masih ada satu dilema lagi.

Aku tidak bisa meninggalkan obat yang kubawa cuma-cuma karena jejakku tidak boleh tertinggal. Sekalipun aku sudah berbuat nekat sejauh ini, aku tetap harus berhati-hati. Jika ayahku tahu, bisa habis riwayatku.

Alhasil, aku selalu membawa obat itu di dalam saku dan mengeluarkannya tiap kali dibutuhkan. Dan mirisnya itu dibutuhkan setiap saat, selama bertahun-tahun.

Kali ini ada sebuah luka gores di pipi dengan noda darah setengah mengering.

Aku menghela napas seraya mengoles salep di permukaan kulit putriku yang terluka. Aku mengolesnya dengan perlahan dan berhati-hati, berharap tindakanku tidak akan membangunkannya yang tengah terlelap.

Setelah selesai, aku segera menutup jar salep. Aku harus segera pergi, jadi aku meliriknya kembali sekilas, sebagai tanpa pamit. Namun, tubuhku mendadak tersentak kaget.

Tidak banyak kegagalan yang pernah kulakukan. Aku selalu terampil melakukan apa pun. Namun, kali ini aku gagal. Putriku terbangun. Dia melihatku. Aku gagal menyembunyikan keberadaanku darinya.

Young Lady, Helene Morgan [END]Where stories live. Discover now