Chapter 01

33.6K 2.7K 18
                                    

Chapter 01 : This uncle so kind to me. Why?

"Dasar anak setan!"

Aku meringkuk di sudut ruangan, berusaha menghindar dari cangkir yang melayang ke arahku.

Aku sudah berusaha untuk menjadi anak pemberani seperti yang Nenek Maurice—tetanggaku yang paling ramah dan peduli padaku—katakan. Namun, aku gagal lagi.

Saat ini, aku menangis lagi—walau hanya air dari pelupuk mata yang mengalir tanpa ada suara isak yang berhasil lolos.

'Seharusnya Ibu tidak melahirkanku.'

"Seharusnya aku tidak melahirkanmu!"

'Seharusnya Ibu membunuhku.'

"Seharusnya aku membunuhmu!"

'Dengan begitu, hidup Ibu tidak akan sial.'

"Dengan begitu, hidupku tidak akan sial begini!"

Usiaku genap enam tahun. Usia di mana memori otak sedang dalam masa prima.

Karena itu, aku bisa mengingat semua kata-kata Ibu dengan baik. Belum lagi, Ibu selalu mengulang kalimat yang sama tiap kali tenggelam dalam kemarahan.

Itu sebabnya aku tahu kalimat apa yang hendak Ibu lontarkan. Aku sudah hafal.

Tapi ... meskipun aku sudah terbiasa dengan kemurkaan Ibu, aku masih saja takut—selalu.

Aku tidak pernah tahu persis apa hal yang selalu membuat Ibu marah. Tapi satu hal yang kuyakini, itu pasti berkaitan dengan pekerjaan.

Karena jika tidak ada masalah di tempat kerja, Ibu tidak akan pulang.

Ibu hanya akan kembali ke rumah jika suasana hatinya buruk, lalu melampiaskan semua kekesalannya padaku.

"Seandainya aku tidak pernah mengandungmu, pasti saat ini aku sedang berkumpul dengan wanita bangsawan lainnya!"

Aku tidak tahu apa itu bangsawan.

Di setiap kemarahannya, Ibu selalu mengungkit jika Ibu memiliki status itu pada awalnya.

Ibu adalah seorang wanita cantik dari keluarga terpandang nan kaya raya. Namun, semua itu lenyap akibat Ibu pernah mencintai seorang pria yang merupakan ayahku.

Menurut kalimat-kalimat yang Ibu ungkapkan setiap kali marah, ayahku adalah seorang pria kejam yang mengancam nyawa Ibu. Ayahku berkata akan membunuh Ibu—sebelum aku lahir—jika Ibu menampakan wajah di hadapannya lagi.

Aku tidak tahu apa yang membuat Ayah begitu membenci Ibu. Ibu pun tidak pernah sekali pun mengatakannya di sela-sela tiap teriakannya.

"A-akh ..." ringisku tertahan.

Ibu melempar garpu ke arahku. Seingatku itu tidak tajam, tapi pipiku terasa perih ketika tergores.

Ibu berteriak, "Aku harap kau segera mati!"

Ya. Beginilah aku menjalani hari-hariku selama ini.

***

Dengan mata terpejam, aku mengernyit dalam. Tidurku terganggu ketika pipiku—area yang terluka karena garpu—terasa perih dan dingin. Tanganku terulur, menyentuhnya. Ada sesuatu yang lengket teroles di sana.

Apa ini?

Karena sudah terlanjur terbangun, aku membuka mata.

Ada seseorang yang duduk di tepi tempat tidur, sedang menutup jar kecil—sepertinya itu salep—seukuran telapak tanganku. Sepertinya orang itu baru saja mengobatiku.

Young Lady, Helene Morgan [END]Where stories live. Discover now