BAB 4: KAGET

487 28 2
                                    

"Sifat Abang itu beda-beda. Karena lelaki itu selalu berbeda untuk menunjukkan kasih sayangnya. Bagaimana pun Abang, dia adalah pahlawanku."

Kheira berjalan di tepi trotoar sendirian. Malam ini jalan sekitar terlihat sepi. Ia menoleh ke kanan dan kiri, tidak ada orang sama sekali, gadis itu perlahan duduk di tepi trotoar dengan wajah lesu seperti kurang makan.

“Gini amat nggak punya motor. Cari angin aja harus jalan kaki,” sebalnya melempar batu kecil ke sembarang arah.

Kheira melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam. Tak ada yang bisa di lakukan gadis itu.

“Di rumah bosen nggak ngapa-ngapain. Keluar juga nggak ngapa-ngapain. Malah jadi gelandangan gue di sini,” monolognya.

“Emang ngeselin tu jodoh. Awas aja kalau ketemu. Mana Kera  ditahan lagi.” Kheira terduduk lemas mengingat Kera, motor kesayangannya. Motor itu di tahan oleh Rayden. Gadis itu menangis di sana.

“Ya Allah ... Gini banget hidup hamba.” Gadis itu meratapi nasibnya hanya karena sebuah motor yang di tahan.

Suara deru mesin motor berhenti di depannya. Rayden membuka kaca helmnya, menatap datar sang adik yang menangis sendirian.

“Pulang. Papi capek kerja, kamu malah jadi gelandangan,” ucapnya dingin. Kheira mendongak, ia menatap Rayden dengan tatapan memelas.

“Lo jahat, Bang. Motor gue,” lirih Kheira.

Rayden berdecak sebal. “Motor itu bukan jantung kamu, jangan kayak orang mau mati besok aja. Pulang sekarang!”

Kheira menendang-nendang angin di depannya dengan kesal. “Nanti aja.”

“Pulang, Elista Kheirana Dirgentra! Kamu mau motor kamu abang bakar?”

Kheira membulatkan mata mendengar ancaman Rayden. Ia segera menaiki kok belakang motor abangnya. “Andai lo bisa gue tukar sama motor sport terbaru,” gumam Kheira kesal.

***

"Ayok, Bang. Temenin gue!” Kheira menarik kerah belakang Jayden yang sedang duduk di kursi meja makan. Jayden yang sedang melahap makanannya tercekik karena serangan mendadak yang diberikan oleh adiknya itu.

"Khei, jangan gitu dong, Nak. Abangnya lagi makan, kesedak, 'kan." Mami Meisya menyodorkan minum ke Jayden. "Minum, Nak. Pelan-pelan."

Kheira mendengus. Bagaimana ia tidak kesal? Sedari tadi papinya terus saja membahas tentang perjodohan dan tawaran menggiurkan tentang motor baru itu.

"Tau, nih. Kenapa harus malam gini, sih? Besok aja, Dek." Jayden menatap Kheira dengan wajah kesalnya.

"Ayok, Bang. Mumpung gue lagi pengen. Nanti kalau mood gue rusak yang ada gue bawa pisau buat jemput tu orang resek. Dijodohin aja kabur, kayak bencong," ujar Kheira mendengus.

Jayden bergidik ngeri. Brutal sekali adiknya ini, daripada ia yang jadi samsak nantinya mendingan ia mengantar Kheira menjemput Alvin yang sama menyebalkan dengan adiknya itu.

"Ya udah. Tapi, yakin lo mau jemput dia? Bagus dong nggak dijodohin sama dia. Gue yakin kalau udah ketemu sama dia pasti lo nyesel, Dek." Jayden berdiri dari duduknya. Ia merogoh sakunya untuk mencari kunci mobil.

"Ah, banyak omong lo. Ayok!" Kheira menarik lengan Jayden dengan penuh paksaan. "MAMI, PAPI, BANG RAI, KHEI PERGI, YA!" teriak Kheira dari kejauhan.

Jayden meneguk salivanya kasar. Menatap Kheira yang sedang memakai motor milik Rayden. Motor besar yang sama seperti punya Kheira. Karena kunci motor Kheira bersama Rayden, Kheira memutuskan untuk memakai motor kesayangan Rayden yang kebetulan kuncinya masih terpasang di motor tersebut.

"Pakai mobil aja, Dek," ucap Jayden memelas.

Kheira berdecak sebal. "Ayok, Bang. Keburu ketauan bang Ray, lama amat."

"Nanti kalau Ray marah, lo tanggung jawab, ya?" ucap Jayden ragu-ragu.

Kheira berdecak. "Iya."

"Dek, jangan kencang-kencang, ya?" ucap Jayden.

"Bacot lo, naik cepat." Dengan ragu cowok itu menaiki motor besar Rayden.

Kheira menurunkan kaca helmnya. Menghidupkan motor itu dan memutar-mutar gasnya.

"Anjing. Astagfirullah!" Hampir saja Jayden terjungkal kebelakang karena Kheira yang tiba-tiba memasukkan gigi motor dan menggas kencang motor itu.

PLAK!

Dengan kesal Jayden memukul helm adiknya itu sehingga membuat kepala Kheira condong ke depan. Namun, bukannya takut Kheira malah menambah kecepatan motornya membuat Jayden kembali hampir terjungkal ke belakang.

Gadis itu tersenyum senang di balik full face-nya ketika mendengarkan umpatan-umpatan yang keluar dari bibir abangnya tersebut. Ini kesempatannya untuk mengerjai abangnya yang tidak boleh di sia-siakan.

"Apartemennya nomor berapa?" tanya Kheira kepada Jayden. Tampak Jayden berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Ternyata naik motor bersama Kheira lebih parah daripada menumpangi mobil yang dipenuhi Stella jeruk.

"Gue nanya, Bang." Kheira berhenti mendadak membuat Jayden yang berjalan di belakang menabraknya.

Kheira berdecak. "Lo napa, sih? Lebay banget baru naik motor doang." Kheira mencibir.

Saat gadis itu berbalik, ia malah melihat Jayden terkapar lemas tak sadarkan diri di antara koridor apartemen. "Ah, nyusahin lo."

Kheira merogoh saku jeans-nya, mengambil ponsel yang berada disana.

"Mam, apartemen cowok itu nomor berapa?"

"Bukannya kamu bawa Jay, Khei? Abang kamu pasti tau."

"Nggak ada gunanya juga bawa dia, Mi. Nyampe disini malah pingsan."

"Astagfirullah, Khei! Kamu apain Abang kamu?!"

Kheira meringis saat mendengar pekikan tersebut. "Nggak papa kok, Mi. Aku cuma mau nanya apartemennya nomor berapa?"

"Kalau nggak salah nomor 108, Khei. Terus itu Abang kamu ditolongin dulu, nanti—"

Kheira memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Malas mendengar kultum indahnya. Lagi pula ia peduli apa? Abangnya yang satu ini memang menyusahkan. Tanpa perasaan, gadis itu meninggalkan Jayden di lorong apartemen sendirian untuk mencari jodohnya.

Sementara itu Mami Meisya geleng-geleng kepala dengan kelakuan putri kesayangannya. Bagaimana dengan nasib Jayden? Sudahlah Mami sudah tidak peduli, biarkan saja cowok itu. Kalau Kheira berbaik hati ia pasti akan menolong abangnya. Jika tidak, mau bagaimana lagi?

Pintu nomor 108.

TOK! TOK! TOK!

"WOI BUKA WOI!"

ISTRI NAKAL PAK KETUWhere stories live. Discover now