Sebuah Kebenaran

12.3K 517 5
                                    


"Tempat biasa"

Klik. Jovan memutuskan sambungan telfonnya. Ia mendesah malas. Setelah meyakinkan tak ada Deeva disana, Jovan pun mengendarai mobilnya dan menuju tempat yang dijanjikan Agam.

"Halo, bener ini Adelio Prasaja?" tanya Agam pada ponselnya.

"Ya, maaf ini siapa ya?"

"Gue Agam, sahabat Jovan. Kalau ada waktu bisa datang ke kafe 001 sekarang. Gue minta bantuan lo. Tentang hubungan Deeva dan Jovan."

"Oke, on the way"

--------------*********---------------


Jovan menatap tajam pada dua orang didepannya. Rahangnya mengeras tanda ia sedang menahan emosi.

"Jo, gue mohon lo cukup diam dan dengerin. Setelah ini lo bebas sesuka hati mau ngelakuin apapun ke gue dan Lio"

Jovan menarik nafas panjang lalu membuangnya. Ia mengangguk.

"Saat itu Deeva nelfon gue" kata Lio membuka ceritanya. "Dia bilang gue harus ke apartemennya sore hari, nada bicaranya bener-bener ga bisa dibantah"

Jovan masih menatap Lio dengan tajam.

"Akhirnya gue dateng, dia seneng bukan main, senyum selalu terpasang di wajahnya." Lio membayangkan Deeva tersenyum dan itu membuat Jovan mengepalkan tangannya. Agam melotot pada Jovan menyuruhnya untuk tetap diam dan mendengarkan.

"Dia mohon sama gue buat....... bantu nyari hadiah yang tepat buat lo dihari anniv kalian yang ke delapan"

Jovan melebarkan matanya "Lo pasti bohong!"

"Jovan shut up and just hear!" bentak Agam kesal.

"Gue nolak. Deeva ga terima. Kita akhirnya ngelakuin....." Lio menatap Jovan dengan senyum mengejek. "Permainan yang sebenernya emang konyol. Kita ngedeketin wajah satu sama lain, menatap langsung ke mata. Siapa yang ketawa duluan, dia yang kalah. Deeva selalu menang dari gue, makanya dia ngelakuin itu biar gue kalah dan nurutin keinginan dia", jelas Lio sambil menyesap coffee nya yang masih mengepul.

Jovan memandangnya tak percaya. Ia mengalihkan pandangannya ke Agam. "Sekarang cerita versi lo, Gam"

"Ga ada yang perlu gue ceritain, karena sama persis dengan cerita Lio." jawab Agam santai.

Jovan menggeleng sambil tertawa "Bohong kan lo berdua. Basi banget ga sih karangan kaya gitu. Jelas-jelas gue liat bayangan di tembok itu...."

"Ciuman? Lo ngira gue sama Deeva ciuman?" Lio tergelak. "Yang bener aja Jo. Gue dan Deeva cuma sahabatan, mana mungkin ngelakuin hal itu. Bayangan yang lo liat belom tentu sama dengan apa yang gue dan Deeva lakuin saat itu." Perlahan, Jovan menundukkan kepalanya.

"Dari kecil, Deeva ga pernah deket sama cowok sekalipun. Satu-satunya ya elo, Jovan. Dan hal yang perlu lo tau, gue udah punya tunangan" kata-kata Lio sukses membuat Jovan menjatuhkan rahangnya.

"Lo?"

"Iya, bahkan tunangan gue dan Deeva saling kenal. Lo ga seharusnya kaya gini, Jo. Buang jauh-jauh sifat egois lo. Jangan menyimpulkan sesuatu sebelum lo tanya kebenarannya."

Agam menyeringai ke arah Jovan "Dia ngedatengin rumah gue, ke pantai waktu lo ngejadiin dia tunangan. Malem-malem, sendirian. Cuma buat nyari lo. Karena gue ga tega buat bohong lebih lama sama dia, ya gue kasih taulah semuanya."

Jovan benar-benar tak tau mau bilang apa. Semua terasa hoax baginya.

"Lo gatau gimana Deeva saat lo pergi gitu aja setelah ngucapin kata-kata yang nyakitin hatinya. Dia kayak patung, tatapannya kosong, sampai akhirnya saat gue keluar dari apartemennya. Dia nangis. Gue yang masih di depan pintu mendengar jelas tangisan dia. Jujur ya, Jo, baru kali ini gue denger Deeva nangis sampe segitunya. Dan itu semua karena lo" Lio menatap tajam pada Jovan.

Perlahan, hatinya diliputi rasa bersalah. Bodoh! Runtuknya dalam hati. Ia meremas kasar rambutnya.

Lio terkekeh, "Apa lo tau, Deeva keliling Bandung buat nyari lo? Apa lo tau, dia rela ninggalin pekerjaannya yang menggunung cuma buat nyari lo? Apa lo juga tau, dia udah ngeluarin entah berapa liter air mata yang dia punya buat nangisin lo? Apa lo tau, gimana perjuangan dia buat ketemu lo lagi? Dan terakhir. Apa lo tau, dia sangat sangat menyesal udah ngelakuin permainan itu dan berakibat fatal buat hubungan kalian? "

Jovan tak kuasa menjawab bertubi-tubi pertanyaan yang dilontarkan Lio.

Kali ini Agam berbicara "Dia cuma mau ngejelasin semuanya sama lo, meluruskan salah paham ini. Dia ga menuntut buat lo maafin. Haruskah lo balas semua yang dia lakuin dengan menghindarinya?"

"Gue salah. Gue salah. Gue yang salah. Gue bodoh karena terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Gue salah karena meghindari dia. Gue salah udah bikin dia nangis. Gue salah karena sifat egois yang tertancap kuat di diri gue. Dan sekarang gue.....gue gatau harus ngapain" lirih Jovan lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Menutupi wajahnya yang memerah karena dipenuhi emosi.

Agam menepuk pundak Jovan, "Lo temui dia dan dengerin penjelasannya. Itu lebih dari cukup buat Deeva, Jo"

Jovan menggeleng, "Gue belum siap ketemu dia, Gam."

"Yaudah, siapin diri lo. Tenangin hati lo dulu. Tapi jangan kelamaan, kita gatau hari esok masih bisa hidup atau engga"

Jovan terkekeh "Makasih Gam, Yo"

Agam dan Lio mengangguk.

"Lo ga pengen mukul atau nonjok kita?" tanya Agam dengan senyum miring. Jovan mengepalkan tangannya dan meninju udara, membuat ketiga lelaki tampan itu tertawa.

----------------***********----------------


Ini bukan lanjutan, cuma part yang menceritakan kebenaran. Biar Jovan percaya.

Hihiii ga sabar pengen cepet-cepet tamat XD


1. Nothing (im)possibleWhere stories live. Discover now