27 - Earthquake

63 11 0
                                    

Suka menolong itu bagus loh, tapi tergantung situasi juga ya.

***

Sudah dua hari berlalu semenjak kejadian di pesta Arimbawa, gadis jangkung itu memilih menghindari Manuaba, begitupun juga Arimbawa. Ia sedang ingin menata hati. Rasanya masih terasa sakit membayangkan bahwa Manuaba ternyata memang tidak bisa membalas perasaannya. Selama dua hari itu, Manuaba tak henti-hentinya mengirimi dirinya chat. Bahkan kemarin pemuda itu sengaja mampir ke rumahnya. Bukannya menyambut, Clarissa malah memilih mengusir lelaki itu yang untung saja orang tuanya tidak ada di rumah. Karena jika ada, sudah dipastikan Clarissa akan diomeli dengan sikap kurang ajarnya itu. Untung saja Manuaba tidak memaksa. Setelah pengusiran Clarissa, pemuda itu langsung pergi dengan mengucapkan kata maaf berulang-ulang. Clarissa tersenyum miris. Harusnya ia sadar diri bahwa ia memang tidak bisa memiliki Manuaba.

"Cla!" Seru seseorang dengan nada melengking sembari menepuk-nepuk bahu Clarissa tidak santai.

Clarissa tersentak dari lamunannya. Ia yang awalnya menelungkupkan kepala di antara lipatan tangan kini jadi menegapkan badan dan melirik sekitarannya yang sudah heboh berkeluaran.

"WOY CLARISSA REBECCA BURUAN KELUAR! GEMPA ANJING!!!" Pekik Elang di depan kelas.

Clarissa membolakan mata dan segera menarik Rebecca untuk keluar kelas. Gadis jangkung itu tidak sadar, serius. Getaran gempa memang tidak begitu keras pada awalnya, namun saat Clarissa sudah beranjak keluar, getaran tersebut cukup kuat.

Clarissa melirik Rebecca saat mereka sudah tiba di tengah lapangan bersama dengan ratusan murid lainnya. Gadis bertubuh pendek dengan pipi bulat itu sedang berkaca-kaca. Clarissa merasa kasihan namun di sisi lain merasa geli. Suaranya saja yang melengking dan nyaring tapi baru gempa sedikit saja sudah ingin menangis.

Clarissa kemudian merangkul Rebecca, menenangkan gadis itu. Rebecca mendengus saat melihat tatapan jahil Clarissa yang menyiratkan ejekan padanya namun ia tidak melepaskan rangkulan itu.

"Cengeng amat dah lo Bec!" Seru Clarissa yang membuat Rebecca merenggut kesal.

"Gue kan takut anjirr! Gempanya keras! Masak lo gak takut sih?!" Bela gadis itu.

Clarissa terkekeh, "Ya takutlah. Gue juga mikirin gimana nyokap bokap sama kakak gue kalik."

Rebecca tidak menyahut, gadis itu masih menormalkan jantungnya yang berpacu cepat karena efek gempa. Clarissa kemudian mengedarkan pandangan, mencari sosok Indira. Saat melihat Indira tengah dirangkul Arya, Clarissa hanya terkekeh geli sekaligus bersyukur. Gadis itu kemudian kembali mengalihkan pandangan. Di ujung koridor kelas 11, dekat tangga menuju ke lantai 2, ada seseorang yang terlihat kesusahan. Clarissa mengajak Rebecca untuk ke posisi anak-anak kelas lainnya lalu gadis itu segera berlari menuju ke koridor itu.

"Lo gak papa?" Tanya Clarissa meraih sebelah lengan gadis itu dan melingkarkannya di bahunya.

Gadis itu tersenyum sembari mengangguk, "Makasih ya Clarissa."

Clarissa melihat badge name perempuan itu, "Iya sama-sama Shinta."

"Ternyata bener ya kata temen-temen aku di kelas IPS satu, yang namanya Clarissa itu setia kawan banget."

Clarissa mengernyit, "Siapa yang bilang? Ngaco ah."

Shinta tertawa kecil, "Manuaji sama beberapa temen-temen cewek aku."

"Lo sekelas sama Aji?"

Shinta mengangguk, "Aji gak pernah absen nyeritain kamu, maka dari itu di kelas IPS satu nama kamu jadi terkenal."

Clarissa menggeleng-gelengkan kepala, "Aji terlalu hiperbola. Jangan didengerin."

"Kenapa kalian gak pacaran? Kamu sama Aji cocok loh."

BEHIND THE SELLERWhere stories live. Discover now