Galau

643 71 2
                                    

Prak

Harits dan Edwin sepertinya harus membiasakan diri dengan bunyi tendangan di pintu mobil. Pasalnya lagi dan lagi Alana keluar dari mobil sebelum menendang pintunya dengan keras dari luar.

Gadis itu berlari kencang menuju kamarnya dengan berurai air mata. Merasa paling menderita sedunia. "Hiks ...."

Tak tahu saja bahwa akibat ulah singkatnya itu membuat delapan anggota paspampres yang menjaganya ikut dihukum secara fisik karena dinilai tak becus. Enam di antaranya diganti, meskipun Harits tetap pada posisinya.

Kejadian itu adalah salah satu yang dinilai cukup fatal. Beruntung tak terjadi apa pun pada Alana yang tak menarik kamera wartawan. Jika sampai terjadi sesuatu dan disorot media, maka bukan hanya pamor Suprapto yang buruk, tapi pertama kali masyarakat akan menilai paspampres lebih dulu.

"Hah ...." Harits menghela napas setelah melaksanakan shalat Isya. Dia sendiri sangat malas menjaga Alana yang banyak tingkah. Masih lebih baik menjaga presiden, pikirnya.

Namun, dia tak ada pilihan lantaran dia ditugaskan untuk mendampingi Alana dan diperintahkan langsung untuk tegas pada gadis itu.

Kelelahan akibat dihukum fisik sudah biasa dirasakannya, tapi hari ini sangat melelahkan. Mungkin karena dia tak bisa mengontrol emosinya dan menjalaninya dengan tak lapang dada.

"Kamu baik-baik aja kan, Nak?" tanya Ayu di seberang telepon.

"Alhamdulillah Harits baik-baik aja, Bu. Uang untuk bayar SPP-nya Fikri sama Naya juga udah Harits kirim, ya, Bu."

"Alhamdulillah. Terima kasih, ya, Nak udah bantu kuliahnya adik-adikmu."

Harits tersenyum tipis. "Udah tugasnya Harits, Bu." Sebagai anak pertama, dia harus rela tak mengenyam jenjang perguruan tinggi lantaran harus bekerja keras untuk membiayai ibunya di kampung dan pendidikan adik-adiknya. Terkadang dia sangat lelah. Menjadi prajurit adalah suatu kehormatan, tapi tak selalu membahagiakan setiap hari. Mereka menghadapi hal-hal yang tak terduga di lapangan dan seringnya itu mengancam keselamatan. Belum lagi latihan fisik yang begitu keras.

"Jangan lupa selalu shalat, ya, Nak. Biar kamu selalu terhubung dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, biar Dia yang membuat tenang hati dan hidupmu serta melapangkannya selalu sesulit apa pun tugas yang kamu emban. Jangan pernah tinggal shalat dalam keadaan apa pun."

"Insyaallah Harits akan selalu ingat pesan, Ibu. Terima kasih, Bu."

****

"Aku trauma, Yah. Aku ... trauma ... sama Harits. Dia ... jahat ...." Alana mengadu pada Suprapto melalui sambungan telepon.

Suprapto yang tengah berada di Papua itu malah menghela napas jengah. "Hah ... anak zaman sekarang, apa-apa trauma, apa-apa trauma. Mental health lah, perlu healing lah, trust issue lah. Ada apa dengan generasi-generasi zaman sekarang yang suka self-diagnosis ini? Kesehatan jiwa itu penting, tapi kan gak perlu self-diagnosis juga untuk melegalkan kelemahan dan kemalasan, kan?" Alana malah terkena ceramah.

Tangisan Alana semakin menjadi dan dadanya semakin sesak. "Ayah ... gak ... ngerti ... perasaan aku ...."

Tet

Tanpa permisi dia mengakhiri panggilan sebelum kembali menangis heboh di balik selimut.

"Hiks ...."

Berkali-kali Dava meneleponnya pun tak diangkat lantaran tak memiliki jawaban yang diinginkan oleh pria itu. Saat sudah mulai tenang, barulah dia menjawab panggilan pacarnya itu.

"Sayang? Where are you?" tanya pria di seberang dengan nada setengah kesal.

"Aku gak bisa dateng, Sayang. Aku gak bisa ...." Dia berusaha menahan isakannya. "Ayah gak izinin aku nonton balapan kamu."

"Kamu bisa kan lakuin sesuatu untuk nonton aku? Aku butuh dukungan kamu lho di sini."

"Aku minta maaf, Yang. Aku udah berusaha kabur tapi gak bisa."

"Ah, kamu banyak alasan!"

Tet

"Sayang? Sayang?"

Panggilan diakhiri sepihak oleh Dava membuat Alana semakin menangis. Galau.

****

Keesokan harinya sepanjang perjalanan ke sekolah Alana menatap Harits dengan tatapan tajam, tapi pria itu memilih tak peduli. Dia sudah siap dibenci Alana lantaran tugasnya itu.

"Sok tegas, sok dewasa, sok suci!" sindir Alana yang sudah diketahui sasarannya.

"Jaga sikapmu!" balas Harits yang duduk di sebelah kursi kemudi itu dengan dingin.

"Sekarang panggilannya udah gak sopan lagi, ya?!"

Harits tersadar. "Maaf, Nona."

Alana melipat tangan di dada. "Tck, gak tahu sopan santun!"

Harits memilih diam dan tak melanjutkan perdebatan, lantaran kalau dilanjutkan, Alana pasti kalah. Mengingat Alana lebih kurang ajar dari yang diejekannya pada orang lain.

Saat mobil memasuki pagar sekolah bertepatan dengan kedatangan Dava, sontak Alana keluar dari mobil dan berlari cepat ke arah pria itu.

"Sayang?"

Dava hanya meliriknya dengan datar dan memilih tetap berjalan.

"Sayang dengerin aku dulu." Alana berusaha mengejar langkah cepat pria itu dan berusaha merayu pacar tampannya itu agar tak marah lagi padanya, tapi Rafa yang bertugas mendampingi Harits menggantikan tugas Edwin itu malah memasang ekspresi heran.

"Gila kali, ya, apa yang dilihat Nona Alana dari laki-laki kayak gitu? Ikut balapan liar pula. Kayak stok laki-laki baik kurang aja."

Harits memilih diam lantaran bingung harus menanggapi apa. Dia hanya sanggup menyaksikan drama marah-marahan pasangan remaja yang tampak sangat membosankan itu.

Rafa geleng-geleng. "Mereka pikir hidup hanya sebatas pacar-pacaran, sayang-sayangan doang. Susah ngomong sama anak orang kaya yang minim tanggung jawab, karena berakhir mewarisi harta mama-papa."

Lagi-lagi Harits bingung harus menanggapi apa. Rupanya rekan barunya itu jauh lebih cerewet dan merasa harus mengomentari semua hal.

Mengejar Tuan PaspampresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang