Luka Kita

63 3 0
                                    

"Gue nggak bisa, Vee Na! Berapa kali lagi gue bilang sama lo

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.


"Gue nggak bisa, Vee Na! Berapa kali lagi gue bilang sama lo. Apa perlu sampe mulut gue berbusa?"

Raka terus menghindar, berjalan ke sana kemari asalkan tidak bersentuhan dengan Vee Na. Menjauhi gadis itu sebisa mungkin.

"Raka," panggilnya lembut, sampai apa yang dia inginkan terpenuhi. "Gue mohon. Please banget. Apa sesusah itu buat kabulin permintaan sederhana gue?" ia terus-terusan mengekor, membuntuti kemana Raka pergi. Mereka adalah dua manusia yang saling kejar-kejaran di dalam apartemen yang tidak terlalu luas.

"Permintaan sederhana lo bilang? Ck!" Raka prustasi. Semakin prustasi. Menjambak rambut. Menendang dinding sebagai bentuk kekesalannya.

Berlari lagi lebih jauh menghindari Vee Na, tapi pada akhirnya semua sia-sia.

"Stop ngikutin gue..." teriak Raka sambil memainkan tangannya lebih dramatis seakan ingin berkata "why? Kenapa Vee Na melakukan semua ini?"

"Gue capek lari-lari terus dari tadi."

"Tapi gue pengen Raka. Makanya jangan lari. Penuhi permintaan gue kali ini aja."

Tidak tahan, Raka memilih bersembunyi di dalam kamar mandi. Menguncinya dari dalam. Membiarkan Vee Na lelah mendobrak pintu dengan tangan kecilnya.

Bagaimana mungkin Raka mau mengabulkan permintaan cewek itu. Ini sedikit gila. Sesuatu yang dia inginkan akan merugikan dirinya sendiri.

Ya. Vee Na ingin menikmati malam terakhirnya dengan bercinta bersama Raka. Merelakan keperawanannya kepada orang yang selama ini ia percaya.

Raka masih waras, kan?! Ia masih punya hati dan tidak mau Vee Na kotor atas ulahnya sendiri meskipun cewek itu yang menginginkannya.

"Raka..." Suaranya mulai bergetar dan lemah. "Gue mohon banget sama lo..." Menendang pintu sekuat tenaga. Memukul. Berteriak sebisa mungkin sampai-sampai telinga Raka berdengung nyeri.

Tak lama kemudian ia menangis setelah merasa kedua tangannya lemah dan sakit.

"Gue benci banget sama lo, bajingan!" ia tidak menyerah, hanya saja saking kesalnya ia mengumpat tanpa sengaja. "Kenapa lo gak bisa penuhi keinginan gue sekali ini aja?"

"Woiii... Anjir... Keluar..." Ia marah. Sekaligus lelah.

Raka terdiam. Mendengar keluh kesal Vee Na meski tidak sanggup. Ia perlahan luluh, tapi belum berniat untuk membukakan pintu.

"Semua gue lakuin karena gue sayang banget sama lo Vee Na."

"Gak usah munafik. Selama ini lo suka dan terobsesi sama gue. Jadi stop buat alasan kalo lo gak mau penuhi permintaan gue karena ngehargai gue."

"Lo juga pengen, kan?" Ia merintih lagi kemudian memohon.

"Gue benar-benar gak bisa Vee Na!"

Menyeka air mata dengan kasar. Membelakangi pintu kamar mandi. Ia bersandar dengan tubuh yang perlahan-lahan merosot.

Vee Na menangis terisak. "Hidup gue gini banget. Semua yang gue mau, gak ada satupun yang terpenuhi. Gimana gue bisa mati dengan tenang?"

"Maksud lo apa?" Raka menyahut dari dalam.

"Kalo lo sesayang itu sama gue, harusnya lo gak nolak kemauan gue."

"Karena gue sayang sama lo makanya--"

"Diam anjir..." Bentak Vee Na lalu menyeka cairan ingus yang hampir menetes.

"Bosan banget denger lo ngomong itu-itu mulu. Muak banget tau gak?!"

"Tapi Vee Na..." Raka menghela napas. Ia  bingung dengan apa yang harus dia lakukan.

Setelah memantapkan diri, ia membuka pintu kamar mandi. Keluar dari dalam dengan wajah tak seceria setiap kali ia memandang Vee Na.

"Bangun," perintahnya.

Vee Na hanya menggeleng. Justru malah semakin menenggelamkan kepalanya di antara dua lutut yang ia tekuk.

Tidak mau ambil pusing, Raka berjalan menuju laci. Mengambil map warna coklat lalu memberikannya kepada Vee Na.

Dengan wajah sembab Vee Na bertanya karena penasaran, "ini apa?"

Pandangan Raka menerawang ke arah jendela besar yang memperlihatkan lampu-lampu dari bangunan tinggi. "Biar lo percaya, kalau gue emang gak bisa memenuhi permintaan lo."

Ia menoleh, lalu kembali berkata dengan lancang, "gue mengidap penyakit HIV Vee Na. Dan ini alasan kenapa gue sering nolak lo biar gak dekat-dekat sama gue." Tampak jelas sekali rasa kecewa dari air mukanya. Kecewa pada hidup yang tak jelas ini. "Tapi lo selalu bikin gue hampir gila. Menahan diri untuk bersikap bodoh amat ketika lo ngegoda gue dengan pakaian-pakaian terbuka lo itu."

Berbalik badan. Menatap sang lawan bicara sendu. "Selama ini gue capek banget, bertindak seakan-akan gue gak pernah tertarik sama lo. Gue juga manusia Vee Na, gue cowok yang punya nafsu sama kayak cowok-cowok diluaran sana. Tapi disisi lain gue juga harus mikirin lo supaya gak sama kayak gue."

Sedari tadi Vee Na hanya mematung dengan mata yang tertuju pada surat dari dokter yang membuktikan bahwa Raka memang memiliki penyakit yang sangat mustahil bisa sembuh.

"Ra-Raka..." akhirnya ia membuka suara meski terbata. Belum kembali semua kesadarannya setelah menerima sebuah fakta yang menyakitkan. 

Sepasang matanya sudah berkaca. Semua anggota tubuhnya kaku. "Kenapa lo nggak bilang? Selama ini lo sembunyiin ini dari gue? Hah?"

Sambil terisak, ia berucap lemah, "lo jahat banget!"

"Sorry! Tapi gue pastiin lo bakalan baik-baik aja." 

"Ck... Gue gak peduli tentang gue baik-baik aja atau enggak. Gue cuma peduli sama lo. Kenapa lo nggak pernah bilang sejak awal kalo lo mengidam penyakit HIV? Kita bisa berusaha buat sembuhin lo Raka." Ia berkata mantap seolah-olah apa yang baru saja dia ucapkan bisa dipercayai dengan mudah.

Raka tertawa kecil. "Gak bakalan bisa sembuh. Karena gue emang sudah terlahir kayak gini. Gak ada harapan Vee Na. Ini keturunan. Orang tua gue yang entah ada di mana, yang gak tau gue masih hidup di dunia ini, gak pernah peduli tentang gue."

"Lagian, gue gak punya mimpi apa-apa yang buat gue harus tetap bertahan kedepannya, selain... gue hidup cuma buat lo."

Senyuman di bibirnya mengembang. "Lo menjadi satu-satunya pemeran utama di hidup gue."

Malam semakin tenggelam. Namun kedua sejoli itu masih hanyut dalam kenyataan yang harus mereka terima. 

Vee Na mendekat. Memeluk. Merasa bahwa mereka memiliki nasib yang sama. Ia bersyukur Tuhan masih baik mempertemukannya dengan lelaki kuat itu. "Kenapa kita nggak nikmatin malam-malam terakhir kita aja?"

Kedua alis Raka saling bertaut. "Maksud lo?"

Lalu, Vee Na menceritakan semuanya. Tentang ia yang telah berhasil membalaskan semua dendamnya. Tentang ia yang akan menyerahkan diri kepada pihak polisi.

Raka tidak terkejut. Ia sudah lama tahu bahwa Vee Na adalah shadow. Ia hanya tidak menyangka bahwa Devid, tuannya yang tidak mau ikut campur dalam suatu urusan yang tidak menguntungkannya, mau membantu Vee Na dengan suka rela. 

Tanpa pikir panjang, Vee Na meraih kepala Raka. Menikmati setiap cumbuan di dekat jendela besar apartemen lantai 12. 

"Katanya reinkarnasi itu gak ada, tapi gue berharap kalau kita kembali dipertemukan. Meski sebagai laut dengan pantai." 


To be continued

Fingerprint (Dangerous)✅حيث تعيش القصص. اكتشف الآن