2. Penumpang Semaunya Sendiri

1.7K 460 33
                                    

"Gue stop di sini aja. Biar nggak buang-buang waktu lo nyari anak istri. Inget! Nggak cuma istri. Anak juga!"

"Edan lo, Syid! Lo pikir dijual bebas apa?!"

Rasyid berkelakar. Kakinya melangkah keluar dari taksi yang dikemudi Lingga. Ini masih di area Jatinegara. Lingga mesti melanjutkan perjalanan ke Klender bersama Ijas. Pak Atmaja dimakamkan di sana.

Sayangnya, sebelum mobil sempat berjalan, seseorang menepuk kap mobil. Lingga terperanjat di tempatnya.

Perempuan berpakaian tunik bunga-bunga celana jeans. Menyelempang tas kecil dari rajutan. Rambut hitam ikal sebahu digerai begitu saja. Kulitnya sawo matang gelap. Layaknya warna kulit Lingga.

Lingga menurunkan kaca jendela. Manik mata gadis itu segera memenuhi pandangan. Wajahnya, rambut itu ... mirip sosok ibu kandung Lingga pada foto keluarga.

Lingga mendadak lupa hendak marah-marah.

"Ke Klender ya, Bang? Eh? Ada penumpang?" 

Gadis itu salah fokus pada Ijas yang duduk di samping Lingga. Sedetik masa terpesona Lingga, terhapus oleh sapaan sang calon penumpang. Ia memutar tatapan pada Ijas. 

"Masuk aja, Kak. Kami juga mau ke sana. Saya teman beliau. Jadi bisa dibilang bukan penumpang juga."

Demi nama baik Yellow Wing yang tidak pernah menolak penumpang. Bahkan jika sorot mata Lingga terlihat ingin menerkamnya, Ijas pantang ciut. 

"Beneran?"

Lingga menarik nafas panjang. Kesabarannya belum usai diadu. "Benar. Silakan masuk."

Terpaksa. Lingga kemudian menyalakan mesin argo.

----------

"Tunggu ya, Bang! Saya biasanya dibayarin pacar. Tunggu."

Eh?

Lingga tak bisa berkata-kata. Perempuan ini semaunya sendiri. Sungguh, ini ujian selanjutnya bagi Lingga. Ia turun setelah memastikan mobil terparkir sempurna di depan deretan ruko berlantai 3. 

"Tukeran, Jas! Lo nyetir! Gue mau ngopi dulu!"

Lingga dan Tiyas berjalan ke arah yang sama.

Ah, anggaplah ini adalah hari besar bagi Lingga. Setelah dianggap sebagai sopir taksi, mengantarkan penumpang yang enggan membayar, kini dia menjadi saksi bisu dari pertengkaran sejoli terkait anak yang akan lahir di luar ikatan.

"Aku hamil, Mas. Ini ...." Tiyas mengeluarkan segara sembunyi-sembunyi, testpack bergaris dua dari bungkusnya. Muka Erwin pias seketika. "Anak kita." Perempuan itu mengambil tangan Erwin untuk digenggamnya. "Kapan kamu bisa lamar aku ke Bapak? Aku takut. Aku takut keburu perutku besar."

Seruputan Lingga terhenti. Tak nyaman sekali telinganya. Ia memajukan kursi menjauhi bangku Tiyas dan Erwin. Menghindari tuduhan menguping. 

Erwin mengambil tangan Tiyas di atas meja. Menutupi testpack yang masih berada di genggaman sang pacar. Tiyas pikir ini adalah saat paling mendebarkan dimana rencana pernikahan akan ia dengar. Nyatanya, tidak. 

Jangan Biarkan Aku Mengemis Cinta Where stories live. Discover now