Kalimat seruannya terdengar hiperbola. Sangat berlebihan. Sungguh.

"Sekarang tolong berdiri dan lihatlah pantulan diri anda di cermin!"

Tidak ada salahnya menurutinya.

Aku bangkit dari kursi dan berdiri di hadapan cermin sembari menatap pantulan tubuhku di kaca satu arah itu dengan saksama.

Gaun merah yang kukenakan tampak kontras di atas kulitku yang terang. Rambut hitam dan manik mata abu-abu yang kumiliki membuat penampilanku tampak tegas.

Namun, fitur wajahku yang kecil membuat kesan imut tetap ada—bukan aku yang mengklaimnya sendiri, itu kata pelayanku.

"Kau cantik sekali, putriku."

Sebuah kalimat yang baru saja mengudara menarik atensiku. Aku sontak menoleh, menatap ke ambang pintu. Aku refleks tersenyum simpul.

"Kau juga tampan sekali malam ini, Ayah."

Pria tinggi itu terkekeh renyah. "Benarkah?"

Aku berdehem dan mengangguk kukuh.

Omong-omong, ketika usiaku sepuluh tahun, kuputuskan untuk mulai memanggil Paman dengan sebutan 'ayah'.

Walau dia tidak benar-benar puas karena menginginkan sebutan 'papa', pada akhirnya ia tidak memaksakan kehendaknya dan menghormati pilihanku.

[A/n: sebutan 'ayah' lebih formal dan kaku dibandingkan sebutan 'papa', ibarat kata 'father' dan 'daddy' dalam panggilan bahasa inggris]

"Apa kau sudah selesai?" tanyanya.

"Sudah," sahutku sigap. "Kan?" tanyaku pada pelayanku, memastikan. Dia mengangguk.

"Kalau begitu, ayo ke aula pesta, Helene."

***

Dulu, aku takut pada orang asing.

Dulu juga aku sempat menolak pesta penyambutan sekaligus acara perkenalanku pada dunia sosial yang hendak Ayah adakan untukku karena takut Ibu mengetahui keberadaanku setelah aku kabur.

Namun, kini berbeda. Aku sudah tidak takut lagi. Pada orang asing, dunia sosial, maupun ibuku.

Aku telah menjadi gadis yang percaya diri, menjadi seorang gadis pemberani.

Aku tumbuh menjadi persis seperti ayahku, Gerald Stanley Morgan. Kepercayaan diriku, keberanianku, semuanya hasil didikan Ayah.

Jadi, ketika pintu aula dibuka, aku melangkah dengan percaya diri sembari menggandeng lengan Ayah.

Tatapanku hanya lurus ke depan, tidak mau peduli pada tiap pasang mata yang menatapku dengan makna tatapan yang berbeda-beda.

Kami berjalan membelah kerumunan manusia dan menjadi pusat atensi.

Sesampainya kami di tempat yang seharusnya, Ayah langsung membuka acara dengan menyapa dan memberi sambutan singkat.

Seperti yang bisa ditebak dari karakter Grand Duke of Morgan, kalimat Ayah benar-benar singkat, langsung ke inti.

"Putriku juga akan menyampaikan sesuatu."

Aku sontak menoleh, menatap Ayah dengan mata melebar—terkejut. Ini tidak ada dalam agenda acara.

Namun, bukannya merasa bersalah, Ayah justru melirikku sembari tersenyum kecil, berekspresi mengejek.

Aku mendengus. Bisa-bisanya Ayah mengerjaiku di hadapan banyak orang seperti ini.

Tapi, baiklah. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Lagi pula, tiba-tiba aku punya hal untuk disampaikan.

"Selamat malam semuanya. Saya Helene Stanley Morgan, putri tunggal Grand Duke of Morgan. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan waktu untuk hadir di pesta debutante saya."

Aku menyapa dengan senyum ramah. Namun, reaksi yang kudapatkan justru dingin. Tatapan-tatapan tajam penuh telisik dan keingintahuan menusukku dari segala arah.

Kedua sudut bibirku sontak mengendur. Tidak ada lagi ekspresi hangat yang terbit di wajahku. Aku membalas tatapan-tatapan mereka dengan tatapan yang dingin juga.

"Pasti ada banyak pertanyaan di benak para hadirin sekalian. Seperti ... siapa sebenarnya gadis ini? Sejak kapan Grand Duke memiliki anak haram? Siapa ibunya? Dari mana asal-usulnya? Dan berbagai pertanyaan tidak sopan dan lancang lainnya. Tidak perlu bertanya dari mana saya tahu. Karena tatapan dan ekspresi anda semua yang mengatakannya."

Sebagian orang tersentak. Tubuh mereka menegang, seakan baru saja tertangkap basah, seolah tebakanku memang benar.

"Tapi itu bukan sesuatu yang perlu dipikirkan apalagi dipusingkan. Itu bukan hal penting yang memiliki peran besar dalam keberlangsungan hidup kita semua. Jadi ... mari hidup dengan mengurus urusan masing-masing, tanpa perlu ikut campur dengan asal-usul kehidupan orang lain."

Aku tersenyum di akhir kalimatku.

Ekspresiku kembali hangat dan ramah. Namun, mereka yang melihatnya justru merinding dan terintimidasi.

.

.

~ To be continued ~

Helene Stanley Morgan, 17 y

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Helene Stanley Morgan, 17 y.o
© picture by pinterest

Published on 02-12-2023

Young Lady, Helene Morgan [END]Where stories live. Discover now