Sesal

3.2K 78 0
                                    

Sudah seminggu lebih komunikasi antara Adis dan Sinta tidak pernah terjalin lagi. Sinta juga tidak pernah menyambangi rumahnya membuat nenek sampai bertanya-tanya.

Seperti pagi ini di hari Sabtu. Seharusnya mereka pergi joging bersama tapi karena Sinta masih kecewa dengannya, acara olahraga pagi itu tidak berjalan lagi. Atau mungkin, Sinta sudah lari pagi bersama Arshan.

Karena tidak ada kerjaan lain, Adis memilih menyapu halaman depan hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara sepeda motor. Rupanya Aji yang datang.

"Ngapain pagi-pagi kemari, Ji?" Tanya Adis heran.

"Mau ngajak lo joging lah. Mau apa lagi emang." Jawab Aji tanpa turun dari motor. Hanya helm yang ia lepas.

"Nggak deh Ji, lagi males aku." Adis kembali meneruskan kegiatannya.

"Demi kesehatan jangan males dong, Dis. Tadi Sinta juga ngirim pesan, ngajak joging. Emang dia nggak ngasih tahu lo apa?"

Adis menggeleng pelan sebagai jawaban. Aji menghela napasnya. Ia lupa jika Sinta masih marah pada Adis.

"Kalian yang marahan, gue yang bingung." Ungkap Aji.

"Bingung kenapa?"

"Ya nggak asik aja. Rasanya sepi lihat kalian nggak akur gini. Emang lo nggak kangen Sinta apa? Gue aja kangen, udah ada sembilan hari kita nggak ketemu dia."

Jangan ditanya lagi, Adis sangat-sangat merindukan sahabatnya itu. Tapi ia belum berani menghubungi Sinta.

"Ayo Dis."

"Pergi sendiri aja, Ji. Aku nggak ikut." Adis sibuk memasukkan daun kering ke tempat sampah.

"Gue nggak peduli. Pokoknya lo harus ikut, kali ini gue maksa." Aji mendorong tubuh Adis masuk ke dalam rumah.

"Ji.."

"Udah, cepet lo mandi! Gue tunggu.'' Aji tidak menerima bantahan, lalu masuk ke dapur di mana nenek sedang memasak.

Sambil menunggu Adis mandi dan bersiap-siap, Aji menggoda nenek dengan sedikit banyolan khasnya hingga wanita sepuh itu tertawa.

"Kamu ini, pagi-pagi sudah bikin perut nenek sakit. Lihat, ikan nenek sampe mau gosong." Nenek segera mengangkat ikan yang hampir bewarna hitam pekat.

"Haha, kalo ikannya gosong. Kasih aja ke Adis, Nek. Dia mah apa aja doyan." Canda Aji lagi.

"Apaan yang doyan?" Sahut Adis begitu sudah rapi dengan setelan olahraga.

Nenek dan Aji serempak menoleh.

"Itu, ikan nenek hampir aja gosong. Terus kata Nak Aji, disuruh kasih ke kamu." Jawabnya terkekeh.

"Sembarangan kamu. Udah ayo pergi." Ajak Adis.

Aji mengangguk dan menyalami tangan nenek. Sebelum pergi ia menyempatkan bercipika cipiki sejenak pada nenek, membuat wanita tua itu terkejut singkat dan memberi pukulan pada bahu Aji.

Sementara Adis mendesah jengah dengan kelakuan aneh sahabatnya.

"Udah siap." Interupsi Aji begitu Adis sudah duduk sempurna di belakang.

"Udah."

Motor Aji kini melaju, membelah angin pagi yang masih sejuk. Sepanjang perjalanan Adis hanya diam tidak banyak bertanya apapun pada Aji karena pikirannya melayang, bagaimana kalau Sinta tiba-tiba tidak menyukai kehadirannya. Lalu sahabatnya itu mengusir dirinya? Dan berbagai pikiran aneh-aneh berkecamuk di otak kecilnya.

Sedangkan Aji hanya bisa menggeleng kepala. Sedari tadi ia memanggil Adis untuk mengajak ngobrol tapi temannya itu sibuk dengan lamunannya. Bahkan tidak sadar jika sebentar lagi mereka akan sampai.

"Turun Dis, kita dah sampai nih." Ucap Aji setelah mematikan mesin motornya.

Adis turun dari motor Aji dan memperhatikan orang berlalu lalang di sekitarnya. Mencari-cari keberadaan Sinta. Tapi tidak terlihat di mana pun.

"Dia udah lari, gue disuruh nyusul." Ucap Aji seolah mengerti yang Adis cari.

                              🍁🍁🍁

Setelah berlari beberapa kali putaran tapi mereka sama sekali tidak menemukan keberadaan Sinta dan Arshan yang entah ada di mana. Sementara Adis sudah merasa lelah lalu meminta Aji untuk berhenti.

"Mana Sinta. Dari tadi nggak kelihatan lho, Ji?" Tanya Adis sembari tangannya mengibas-ibas. Merasa kegerahan.

"Lo duduk aja. Gue coba telpon Sinta dulu." Aji mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

"Di mana katanya?" Tanya Adis ketika Aji mematikan sambungan telponnya.

"Lagi makan bubur ayam." Jawab Aji kesal. Dicari-cari ternyata asyik kulineran tanpa mengabari dulu.

"Cari makan juga yuk. Laper banget aku." Adis mengelus perutnya sambil berdiri.

Aji mengangguk. "Kita makan bubur ayam aja ya." Aji mengajak Adis ke tempat penjual bubur ayam di mana ada Sinta dan Arshan di sana.

Adis menurut saja yang penting perutnya terisi.

Aji menepuk pundak Sinta yang tengah menunduk menikmati makanannya membuat gadis itu berjengit kaget.

"Heh, gue kira siapa. Hampir aja gue timpuk lo pake mangkuk." Ketus Sinta.

Aji tertawa. "Sadis amat, Neng. Lanjutin lagi deh makan lo. Gue mau pesan bubur ayam dulu."

"Hai, Sin." Sapa Adis.

"Hm." Sinta menjawab cuek membuat Adis meringis. Masih marah rupanya.

Dengan canggung Adis berdiri di samping Sinta. Ia tidak berani mengambil tempat duduk sebelum Sinta atau Arshan mengizinkan, meski ada kursi kosong di depan Sinta.

"Duduklah jangan berdiri terus." Ucap Arshan.

"I-iya." Jawab Adis dengan terbata sambil menarik kursi.

"Apa kabar, sudah lama kita tidak bertemu?" Arshan menatap lekat wajah Adis. Wajah yang sangat ia rindukan akhir-akhir ini. Yang entah mengapa semakin manis saja menurutnya.

"Baik." Jawab Adis pelan. Sebenarnya ia ingin bertanya balik pada laki-laki tampan dihadapannya itu. Tetapi lidahnya terasa berat.

"Hm, Sin. Kamu dicari sama nenek. Nenek kangen sama kamu." Adis menoleh ke Sinta karena sedikit salah tingkah dengan tatapannya Arshan.

Namun Sinta pura-pura tidak mendengar.

"Sin, maafin aku. Aku sadar kata-kataku waktu itu udah buat kamu terluka. Harusnya aku bisa jaga emosiku." Adis memandang Sinta dengan tatapan menyesal. Ia sadar sudah melukai perasaan sahabatnya.

"Kenapa sadarnya baru sekarang. Kemarin-kemarin kemana aja, lo?" Sinta menyindir. "Nggak semudah itu ya gue maafin lo. Hati gue udah terlanjur sakit."

"Sin.."

"Diem deh, kalo lo nggak mau gue usir dari sini." Ucap Sinta galak membuat Adis langsung terdiam.

"Sinta." Tegur Arshan.

"Kakak juga diem. Nggak usah ikut-ikutan."

Arshan menghela napasnya, sebenarnya ada apa dengan dua sahabat ini.

.

.

.
28 November 2023






















BATASAN CINTAWhere stories live. Discover now