Cukup berat

2.6K 76 0
                                    

Setelah Adis pergi meninggalkan dirinya. Arshan terdiam dengan pandangan hampa dan kecewa. Kemudian terkekeh lirih, menertawakan dirinya yang telah ditolak mentah-mentah. Dengan jelas Adis menegaskan bahwa malam ini adalah pertemuan terakhir mereka. Itu artinya Adis memang tidak lagi menginginkan dirinya.

Piring yang isinya masih banyak itu Arshan geser ke samping. Tiba-tiba perutnya terasa kenyang. Makanan di hadapannya sudah tidak membuatnya berselera lagi.

Sebelum pergi, minuman dingin rasa jeruk itu ia habiskan untuk membasahi kerongkongannya yang rasanya tercekat.

Baiklah jika itu kemauan Adis, akan ia turuti. Ia tidak akan mengganggu Adis lagi. Jika memang mereka tidak bisa bersama, ia akan belajar mengikhlaskan. Mengikhlaskan cinta yang nyatanya tidak bisa diperjuangkan lagi. Meski kenyataannya sungguh berat.

                               🍁🍁🍁

Pagi menyapa seperti biasa dengan hangatnya sang surya menyegarkan tubuh. Arshan sudah siap untuk berangkat ke kantor dengan setelan jas yang membalut tubuh tegapnya. Walau hati dalam keadaan kalut tapi urusan kantor tidak bisa ia tinggalkan seenaknya.

"Pagi Kak." Sapa Sinta yang sudah duduk di meja makan.

"Hm, pagi." Jawab Arshan sambil menarik kursi. Sinta mengerutkan kening ketika Arshan menjawab sangat singkat. Apalagi biasanya kakaknya itu mencium keningnya, tapi pagi ini tidak.

Tak lama kemudian Pak Brata dan Bu Brata turun lalu bergabung di meja makan. Dengan sigap Bu Brata melayani suaminya, mengambilkan makanan. Sementara kedua anaknya mengambil sendiri.

"Shan, apa hari ini kamu ada acara?" Tanya Pak Brata.

"Tidak ada, Pa."

"Bisa kamu wakili Papa keluar kota siang nanti? Tidak lama hanya empat hari saja."

"Kenapa mendadak sekali?"

"Papa lupa memberitahumu. Semalam kamu pergi dan pulang larut. Papa hubungi kamu tapi ponselmu tidak aktif. Bagaimana, kamu bisa wakili Papa?"

"Baiklah, Arshan bisa."

"Pak Hendra yang akan dampingi kamu."

"Keluar kota ada acara apa, Pa?" Tanya Bu Brata.

"Pabrik kita yang ada di kota Surabaya ada sedikit kendala Ma." Jawab Pak Brata.

"Tapi lama sekali." Batin Sinta.

Empat hari Kakaknya disibukkan dengan kegiatan di luar kota. Mengurus permasalahan yang terjadi di pabrik. Itu artinya ia harus memberitahu Adis tentang kepergian kakaknya itu yang menurutnya lama.

Selesai sarapan, Sinta berangkat ke kantor bersama Arshan. Laki-laki itu mengemudi dalam diam.

"Kakak nggak beritahu Adis tentang perginya Kakak nanti?" Tanya Sinta.

"Tidak."

Sinta mendengus, kumat lagi irit bicaranya Arshan.

"Kenapa?"

Arshan menghembus napas sejenak sebelum menjawab. "Dia minta Kakak berhenti mengejarnya. Dalam artian, cinta Adis untuk Kakak benar-benar sudah mati."

"Dan Kakak turuti?"

Arshan mengangguk. "Mau bagaimana lagi. Itu permintaannya, Kakak juga tidak bisa egois. Jika itu membuatnya bahagia, Kakak harus berhenti sampai di sini." Ada getir saat mengatakan kalimat itu.

"Ayolah Kak.. jangan patah semangat gitu. Masa Kakak nyerah gitu aja sih. Mana Kak Arshan yang aku kenal. Pokoknya aku nggak setuju, Kakak harus merjuangin Adis!"

BATASAN CINTAWhere stories live. Discover now