Rencana

1.6K 63 0
                                    

Cindi bingung harus memulai dari mana obrolan mereka. Ini sudah sepuluh menit tetapi Arshan sama sekali tidak membuka mulut. Laki-laki itu duduk tegak dengan pandangan lurus ke depan. Seperti tengah memikirkan sesuatu.

"Em.. Kak Arshan." Dengan ragu Cindi berusaha memanggil. Sebenarnya ia tidak suka suasana seperti ini. Hening tanpa ada kata-kata yang keluar. Harusnya mereka sekarang membicarakan sesuatu, entah itu apa.

"Ya." Arshan akhirnya menolehkan kepalanya.

"Lagi mikirin apa, Kak? Dari tadi diam saja?" Suara Cindi begitu lembut saat bertanya.

"Ah, Kakak gue emang nggak berubah." Sinta terkikik sendiri di tempat persembunyiannya. Keberadaannya sama sekali tidak diketahui oleh mereka, kecuali kalau ia bicara keras.

"Tidak mikirin apa-apa." Jawab Arshan dingin.

"Kak Arshan tidak suka ya, aku ada di sini?" Cindi merasa Arshan tidak menyukainya. Padahal ia berharap Arshan mengajaknya bicara banyak.

"Tidak juga."

Mulut Sinta menganga lebar tapi buru-buru ia rapatkan kembali. Kesal sekali rasanya, Kakaknya itu meladeni Cindi bicara meski dengan nada andalannya, dingin. Tapi kalau dengan Adis, cueknya sungguh minta ampun.

"Oh, kirain." Cindi mengangguk-angguk. "Apa Kak Arshan tahu. Aku sudah lama mengagumi Kakak." Sambil tersenyum manis.

"O ya?" Toleh Arshan lagi.

"Iya." Cindi mengangguk.

"Setiap kali Papa datang menghadiri perayaan yang dilakukan perusahaan Kakak. Aku juga ikut. Tapi sayangnya, Kakak tidak mengenalku. Padahal aku selalu berdiri di samping Papa." Cindi berkata sambil diselingi tawa kecil. Mencoba mencairkan suasana agar tidak kaku.

"Heleh, emang situ siapa? Pengen banget dilirik Kakak gue. Gue aja adiknya nggak segitunya. Ngarep bener." Gerutu Sinta. Mentang-mentang cantik, maunya langsung dapat perhatian.

"Saya tidak ingat." Ucap Arshan.

Cindi tersenyum. "Percaya sih, karena saat itu Kakak sangat sibuk bicara dengan tamu-tamu yang lain."

"Iya."

Singkat sekali Arshan menjawab. Jika tidak di dahului, kemungkinan Arshan tidak akan bicara.

"Olahraga apa yang Kakak sukai kalau aku boleh tahu?" Cindi memiringkan tubuhnya menghadap Arshan.

"Semua olahraga saya suka."

"Tapi pasti ada yang paling favorit, kan?" Cindi tidak menyerah bertanya banyak hal. Mengorek apa saja kesukaan Arshan.

"Ya, ada_"

"Apa itu?" Cindi langsung memotong dan matanya berbinar kala Arshan akan menjawab.

"Basket."

"Keren sekali. Aku juga suka dengan olahraga basket." Pelan Cindi bertepuk tangan.

Sinta mencebikkan bibir sambil meniru ucapan Cindi barusan. "Caper banget." Oloknya kemudian.

"Tapi aku tidak bisa memainkannya. Sudi kah Kakak mengajariku?" Pinta Cindi dengan senyum manis.

Sinta berdecih. "Pinter banget ngerayu kakak gue. Kalau Kak Arshan setuju, fix. Kakak gue udah terperangkap sama pesona sok lembutnya." Gerutunya.

"Saya tidak bisa janji."

"Tidak masalah, tetep aku tunggu kok."

Sinta memutar malas kedua bola matanya. Pantang menyerah rupanya. Ia akui pesona kakaknya memang luar biasa, tidak heran wanita seperti Cindi ini tidak akan mundur begitu saja. Apalagi di belakang gadis itu banyak sekali dukungan, termasuk kedua orangtuanya. Tidak bisa ia biarkan jika begini.

BATASAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang