28. Lie

844 129 5
                                    

Rooftop adalah tempat yang Jennie pilih setelah ia mati-matian menahan isaknya di sepanjang lorong rumah sakit. Ia hanya takut menggangu pasien lain karena ini sudah malam. Terakhir kali Jennie ingat, ia melihat jam menunjukkan pukul satu dini hari.

Jennie menumpukan berat tubuhnya ke dinding rooftop. Ia mulai menumpahkan air matanya, terisak sambil sesekali berteriak.

Seharusnya ia mewajarkan pengusiran Lisa tadi karena ia memang bersalah. Sikapnya akhir-akhir ini memang sangat keterlaluan. Wajar jika Lisa marah. Wajar jika Lisa membencinya. Wajar jika Lisa tak ingin dekat dengannya. Jennie memang pantas mendapatkan semua penolakan Lisa, tapi mengapa rasanya sangat menyakitkan?

Jennie melihat ke bawah. Parkiran itu lumayan padat akan kendaraan namun sepi akan manusia. Jennie tersenyum kecil di sela tangisnya.

"Lisa, pukulan ayah kamu pasti sakit banget. Apalagi kamu dapetinnya berkali-kali. Kayaknya jatuh dari sini juga gak sebanding dengan rasa sakit yang kamu dapetin dan dengan bodohnya aku malah nambahin beban kamu," ujarnya sambil mulai naik ke pinggiran rooftop. Ia duduk dengan kaki yang menggantung bebas di udara.

"Kamu boleh bales semua perbuatan aku. Kamu boleh bales semua rasa sakit yang kamu rasain ke aku tapi please kasih aku kesempatan buat deket sama kamu ya. Aku pingin banget ngerasain gimana rasanya punya seorang adik. Izinin aku ngerasain kebahagiaan itu walaupun sebentar, Li. Tolong kasih kakak kesempatan."

Jennie menghela nafas lalu menghapus air matanya. Ia lagi-lagi melihat ke bawah lalu sedetik kemudian ia memilih untuk turun.

Direbahkannya tubuhnya di atas lantai rooftop yang kotor itu. Ia menatap langit malam. Mendung, tidak ada bulan maupun bintang. Langit seolah tau kondisi hati Jennie.

"Lisa suka bintang tapi sekarang bintangnya sembunyi." Jennie menghela nafas lagi.

"Pasti ibu sangat kecewa karena Jennie udah nyakitin anaknya. Maaf ya ibu."

Sesak. Itu yang Jennie rasakan saat permintaan maaf itu terlontar. Ia merasa gagal bahkan sebelum memulai.

Air mata itu lagi-lagi jatuh. Kali ini ditemani dengan rintik hujan yang seolah ingin menghapus air mata Jennie.

Jennie tak mau beranjak meskipun hujan sudah semakin deras. Ia membiarkan tubuhnya basah kuyup. Matanya terpejam menikmati setiap tetes air yang membasahi tubuhnya.

"Ini, sedikit melegakan."

....

Jay langsung bergegas menuju rooftop saat membuka pesan dari Jennie. Matanya langsung terbuka lebar ketika mengetahui jika pesan itu dikirim dua jam yang lalu. Ia semakin panik saat tau jika di luar sedang hujan.

Jay semakin mempercepat langkahnya. Ia harap-harap cemas, takut Jennie kenapa-napa. Ia menyesal karena ia tertidur. Harusnya dalam kondisi seperti ini, ia lebih menjaga Jennie.

"Nona!" Jay berteriak sambil berlari saat melihat tubuh Jennie tergeletak di lantai rooftop. Wajah Jennie sudah sangat pucat. Bibirnya juga mulai membiru.

Jay langsung menggendong tubuh Jennie. Ia berlari menuju lift dan memencet nomor 1. Tempat dimana UGD berada.

"J-Jay?" ujar Jennie dengan bibir yang bergetar. Ia berusaha membuka matanya. Badannya gemetar, ia menggigil hebat. Rasanya ia baru merasa jika ia sangat kedinginan.

"Nona, tenang ya. Kita udah sampe di UGD."

Jay langsung meletakkan Jennie ke brangkar. Ia mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada dokter.

"Ambilin Jennie baju ganti, sus."

Mendengar itu, Jay otomatis menutup tirai penghalang brankar Jennie. Ia melihat suster yang berlarian keluar dan kembali membawa sebuah piyama dan selimut.

I Hate HospitalsWhere stories live. Discover now