6. Friend?

846 110 5
                                    

Suasana mobil yang biasanya ramai oleh cerita Jennie, kini mendadak senyap. Hanya ada alunan musik klasik yang menemani perjalanan mereka. Jennie sendiri melamun memperhatikan jalanan yang biasa mereka lewati. Dia tak lagi protes dengan genre musik yang daddynya pilih meskipun itu tak sesuai seleranya.

"Kamu masih marah sama daddy?"

Jennie tak merespons pertanyaan daddynya. Telinganya seolah tuli karena pikirannya penuh dengan nama Lisa. Ia bahkan tak mengerti mengapa akhir-akhir ini ia selalu merasa gelisah hanya karena Lisa tak mau dekat dengannya. Padahal ia juga sadar, mereka adalah dua orang asing yang baru dipertemukan, bukan siapa-siapa dan Lisa sangat berhak untuk tidak menerimanya meskipun hanya sebagai teman.

"Sayang," Minho mengelus pelan kepala Jennie yang membuat sang empu sedikit terkejut. Mobil mereka berhenti karena bertepatan dengan lampu merah.

"Iya dad?" Jennie langsung menoleh ke arah daddynya.

"Kok ngelamun sih hm? Masih mikirin masalah tadi?"

Jennie mengangguk pelan. "Gara-gara ego Jennie kemarin dia jadi kehilangan pekerjaan."

"Cassie maksud kamu?"

"Iya."

"Itu bukan salah kamu."

"Tapi dad," Jennie menggantung kalimatnya saat matanya menangkap pemotor yang melaju cepat ke arah mereka.

Aaaaaaa

Brak!!!

"Astaga dad!" Jennie memegang jantungnya yang berdegup kencang. Baru saja seorang pemotor menabrak mobil mereka yang sedang diam.

Suara klakson bersahut-sahutan karena lampu sudah berubah menjadi hijau. Mobil Minho jelas tak mungkin melaju karena sang pengendara motor jatuh tepat di depan mobilnya. Ia bergegas keluar untuk melihat kondisi sang pemotor.

"Maaf. Saya tidak menabraknya. Dia menabrak mobil saya," ujarnya pada sejumlah warga yang menolong pemotor tersebut.

"Iya kami melihatnya. Tapi bagaimana dengan bapak ini?"

Minho melihat sekilas sang pemotor yang sedang pingsan. Tentu Minho tak tega melihatnya lebih lama dalam kondisi seperti itu. Dahinya sobek, hidungnya lecat dan luka-luka yang lainnya membuat Minho meringis.

"Biar saya bawa ke rumah sakit. Kebetulan anak saya juga hendak ke sana."

Mereka mengangguk lega lalu membantu Minho mengangkat pemotor tersebut ke bangku belakang.

Tidak sampai satu jam, pemotor tersebut sudah berbaring di ruang VVIP yang Minho pesan. Dokter sudah memeriksanya dan beruntungnya tidak ada luka yang serius. Jennie sendiri sudah ke ruangan lain untuk melanjutkan kegiatan koasnya.

"Kami sudah menghubungi keluarga pasien pak," ujar seorang suster.

"Lalu bagaimana?"

"Keluarganya bilang, ia memohon bantuan bapak untuk menemani pasien hingga keluar dari rumah sakit."

"Hah? Yang benar saja. Saya sangat sibuk untuk melakukan hal itu. Apa saya bisa menyewa seorang suster untuk menjaga pasien selama 24 jam sampai pasien pulang dari rumah sakit ini?" Minho benar-benar tak habis pikir dengan keluarga pasien. Bisa-bisanya mereka tidak panik dan bergegas ke rumah sakit. Mereka seolah memanfaatkan kebaikan Minho. Tapi tidak apa, menolong korban tadi tidak akan membuat hartanya yang berlimpah itu habis.

"Bisa pak."

"Baiklah. Tolong sewakan seorang suster yang kompeten untuknya."

"Baik pak."

I Hate HospitalsDove le storie prendono vita. Scoprilo ora