EPISODE 16: Kejatuhan Nawang Wulan

41 8 0
                                    

Pantulan wajah Jaka Tarub yang sedang memacu kuda di kolam biru itu memudar. Keenam bidadari yang melihat hanya bisa menghela tertahan. Mereka tidak bisa mencampuri urusan manusia. Para bidadari hanyalah perantara antara manusia dan Dewa.

"Malang sekali nasib Jaka Tarub," gumam Nawang Wulan sedih.

"Itu sudah nasibnya. Kita hanya bisa melihat, kita tidak boleh mencampuri urusan manusia kacuali perintah Dewa atau keseimbangan semesta akan goyah," sahut Nawang Asri.

"Saudari-saudariku!" seru Nawang Rasati sambil berlari kecil, selendang birunya berkibar terkena angin. "Aku sudah menggeser mendung ke Pastika. Hujan akan habis di pantai utara. Jalada kini sudah reda," ucapnya bersemangat.

Semua gadis semringah. Mereka semua tak sabar untuk turun ke bumi dan mandi.

"Benarkah?" sahut Wulan lebih bersemangat dari yang lain. Lalu dia menggaet tangan Kencana dan bilang, "ayo, Ayunda. Kamu pasti sudah lelah, kan?" Dia mulai berjalan. Saudari-saudarinya hanya bisa tersenyum sambil mengikuti.

Nawang Wulan. Dia secantik namanya. Walau dia yang bungsu, jangan pernah meremehkannya. Karena saat dia tersenyum senjata terkuat di bumi akan luluh. Kecantikannya yang semurni sinar bulan purnama. Kasih sayangnya yang seluas samudra Hindia. Dan kebaikannya yang membuat satiap hati jatuh cinta. Itulah dirinya. Sang bidadari berselendang merah yang bertugas membolak-balikan hati manusia berdasar perintah Dewa.

Dia yang bersemangat untuk turun ke bumi tak menduga bahwa ini adalah hari terakhirnya menjadi bidadari. Wulan dan keenam saudarinya sudah ada di tepi Kahyangan dan awan sambil membentuk sebuah formasi. Mereka mulai membentangkan selendang masing-masing. Angin berhembus kencang. Saat selendang dikibarkan tubuh mereka terbang dan melesat cepat turun ke bumi meninggalkan bekas tujuh warna dari masing-masing selendang yang indah.

Jejak itu di sebut pelangi.

Di bawah sana, Jaka Tarub sampai di tepi rumahnya. Dia tampak gusar dan buru-buru. Bergegas dia mengambil busur panah saktinya dan kembali lagi berlari keluar. Langit sudah cerah, bahkan dia bisa melihat pelangi indah. Tapi tidak ada waktu untuk mengaguminya, dengan cepat ia naik ke atas kuda curian itu dan berpacu masuk ke hutan pinus.

Bumi mengeluarkan aroma patricor yang membuat perasaan Jaka makin kacau. Dengan nafas tegangnya, ia melihat sekeliling. Tidak ada apa-apa, hanya pohon pinus yang basah sepanjang mata memandang. Sesekali suara kodok dan serangga memecah keheningan. Jaka memacu kudanya makin dalam.

Kuda itu meringkik saat ditarik untuk berhenti. Nafas Jaka memburu. Lelah dan frustrasi menggelayut dalam dirinya. Dia mendongak melihat pohon pinus terakhir yang menjulang mengalahi semua pohon di sekitar, bekas anak panah di batangnya masih terlihat jelas karena waktu itu. Sekali lagi ia memandang sekeliling, tak ada tanda-tanda babi hutan ataupun rusa. Hutan begitu hening, hanya terdengar suara nafasnya dan air sisa hujan yang jatuh dari dari dedaunan. Dia mengambil nafas dalam dan memacu kudanya masuk ke Hutan Gelap.

Para Bidadari telah mendarat di telaga yang menampung air dari air terjun bersusun tiga yang masing-masing setinggi lima meter di belakangnya. Telaga itu tampak keruh karena air hujan yang mengalir masuk melewati batuan besar di sekitarnya. Pohon-pohon besar yang tak terjamah melindungi tempat itu. Ketujuh Bidadari amat senang saat kakinya menyentuh bumi.

"Tempat ini sangat indah, Ayunda," gumam Nawang Wulan bersemangat.

"Manusia tidak pernah datang ke sini," sahut Nawang Cende.

Nawang Asri membentangkan tangannya, menghirup udara segar dalam-dalam. "Bumi menyambut kita. Rasakanlah sekeliling kalian," ucapnya sambil berputar senang. Setelah itu dia melepas sepatu indahnya dan sebuah keajaiban terjadi. Saat perlahan telapak kakinya menyentuh tanah, rumput-rumput menghijau dan bergoyang. Saat ia melangkah, bunga-bunga bermekaran indah warna-warni. Ketika ia mulai menari, dedaunan bergoyang bagai diterpa angin, dan burung-burung berkicau riang.

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariWhere stories live. Discover now