EPISODE 3: Empat Keping Emas

61 8 0
                                    

Nawang Rasati, sang bidadari berselendang biru yang kecantikannya diambil dari laut selatan. Teduh nan syahdu tatapannya sedalam samudra. Senyumnya yang bisa mengubah arah badai. Kulitnya yang berkilau seperti tetesan hujan saat terkena sinar matahari. Yang tugasnya mengendalikan cuaca berdasar perintah Dewa. Seperti sekarang, saat dia memandang langit, mengibaskan tangannya yang membuat hujan reda.

Dia dan para saudarinya berkumpul di tepi batas Kahyangan. Bercengkrama anggun tentang hebatnya Nawang Rasati menurunkan hujan. Mereka bersemangat, tak sabar akan turun ke bumi.

"Ayunda! Tunggu kami!" Nawang Wulan dan Nawang Kencana datang berlari.

"Kenapa lama sekali? Dari mana kalian?" tanya Nawang Asri.

"Ini... Ayunda Kencana melihat kolam lagi."

"Sudahlah. Ayo, aku tak sabar lagi," tukas Nawang Cende.

Kemudian ketujuh bidadari itu membentuk formasi huruf V terbalik, dengan Nawang Asri berselendang hijau di paling depan sebagai yang tertua. Nawang Shindang di ujung kanan memakai selendang ungu, dan Nawang Wulan di ujung kiri memakai selendang merah.

Mereka membentangkan selendangnya masing-masing. Perlahan mereka pun terbang dan turun ke bumi. Selendang mereka berkilauan memancarkan warnanya masing-masing, meninggalkan jejak warna panjang yang membentang di cakrawala. Warna merah dari selendang Nawang Wulan, jingga dari selendang Cende, kuning dari Kencana, hijau dari Asri, biru dari Rasati, nila dari Manik, dan ungu dari selendang Shindang. Semua manusia pasti terpesona memandang semburat tujuh warna itu. Mereka menyebutnya 'pelangi'.

Tujuh bidadari itu turun di telaga Madirda. Mereka amat senang melihat air yang jernih nan tenang itu. Mereka mulai melepas selendang masing-masing, menanggalkan pakaian dan perhiasannya satu persatu hingga tak tersisa sehelai benang pun. Lalu mereka pun terjun ke air. Ah, sungguh, bentuk tubuh mereka mengalahkan keindahan telaga itu. Andai ada lelaki yang mengintip pasti mereka tak bisa mengendalikan nafsunya.

***

Jaka Tarub dan Panji tiba di mulut gua. Burung puyuh mereka hangus tak tersisa, tapi mereka tak terlalu kecewa. Karena hadiah yang lebih berharga telah didapatnya. Melihat hujan telah reda mereka berdua pun memutuskan untuk kembali. Panji tak henti-hentinya memandang terompet putih gading itu. Sementara Jaka sedikit gusar karena empat keping emas di sakunya.

"Jaka, kau tahu jalan pulang? Jujur, aku lupa," gumam Panji menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kenapa kau tak tiup saja terompetmu itu?" celetuk Jaka sambil memadamkan api yang dibuatnya tadi.

"Haruskah?"

"Ah, tak usah. Aku membuat tanda sayatan di pohon saat kita datang. Ayo!" Lalu Jaka memimpin jalan.

Tanah becek, bebatuan menjadi licin, pepohonan basah dan beberapa ranting jatuh ke jalan mereka. Panji terus mengekori temannya. Mereka sampai di tempat di mana suara air terjun terdengar samar.

"Jaka, lihat!" Panji menunjuk ke langit. "Pelangi. Ayo, kita lihat dimana itu berujung. Mungkin ada harta karun di sana."

Jaka hanya mendongak sesaat. "Kau percaya itu tapi tak percaya Ahool?" celetuknya.

Panji mengatupkan bibir. "Setelah bertemu Sang Hyang Antaboga aku lebih percaya banyak hal."

"Kalau begitu kita harus keluar hutan sebelum Ahool muncul."

Bermenit-menit kemudian mereka sampai di pohon pinus terakhir. Kali ini Panji tak banyak merengek, dia terus mengikuti Jaka hingga mereka benar-benar keluar dari hutan.

Dan, sampailah mereka di desa. Hari sudah sangat sore.

"Panji, boleh aku pinjam kudamu? Aku harus ke kota."

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariWhere stories live. Discover now