EPISODE 11: Pulang

37 7 0
                                    

Pagi itu langit lebih cerah dari biasanya. Energi negatif yang menyelimuti tanah dan langit Jawa telah bersih, walau beberapa masih tersisa sedikit. Dari langit timur terbang seorang bidadari cantik dengan selendang ungu yang bisa membuatnya melayang. Dialah Nawang Shindang, bidadari yang punya tugas penting di Jawa yaitu memelihara gunung-gunung dan melongsorkan tebing berdasar perintah Dewi. Dia mungkin tak secantik Nawang Wulan atau tak sehebat Nawang Cende, tapi semangat juangnya sekokoh Semeru dan tekatnya sekuat berlian. Semua bidadari punya kelebihan dan tugasnya masing-masing.

Dia mendarat di Kahyangan tengatnya di Taman Widodari. Keenam saudarinya langsung menyambut. Semua terbangun dari tirakatnya dan Nawang Manik datang dari aulanya dengan muka lelah.

"Bagaimana, Shindang? Apa ada masalah dalam tugasmu?" tanya Nawang Cende.

Shindang menggeleng. "Semua baik-baik saja. Kejahatan tidak keluar dari gunung Ijen. Aku sempat terluka, tapi Bidadara Putih menyembuhkanku."

"Bidadara Putih apa dia baik-baik saja, Shindang?" lontar Asri.

Shindang mengangguk mantap.

"Aku sangat lelah. Energi yang naik sangat kuat, aulaku dibuat berantakan. Untunglah gulungan darma tidak ada yang rusak. Itu menyedot banyak energi positifku," seloroh Manik.

Semua mengangguk. Mereka bertujuh amat kelelahan.

"Bagaimana kalau sore nanti kita turun ke bumi untuk mandi?" cetus Rasati bersemangat.

"Ide yang bagus," komentar Wulan.

"Tapi sekarang kita harus ke Aula Agung. Lihatlah para penguhuni langit sedang menuju kesana," celetuk Kencana sambil menunjuk sekitar yang banyak bidadari dan bidadara terbang menuju dalam bangunan istana putih.

***

Anjani tak henti-hentinya memandang takjub bukit berbunga yang ia lalui. Berbagai jenis bunga warna-warni menghampar luas seperti permadani yang menyelimuti bukit sepanjang mata memandang. Kupu-kupu dan kawanan lebah menyambut pagi itu. Kota Menir yang terbelah sungai Bengawan Solo terlihat kecil dari tempatnya berdiri. Raynar, kucing besar itu tampak senang berusaha menangkap kupu-kupu yang hinggap di hidungnya.

"Pelan-pelan, Raynar. Jangan mengikutinya terlalu jauh. Kita harus segera pulang," seru Anjani melihat Raynar yang mengejar kupu-kupu menjauh dari jalan.

Dia melesahkan nafas lelah. Membiarkan Raynar mengejar kupu-kupu, dia tahu harimau itu tidak akan pergi jauh. Raynar akan selalu di sekitarnya, melindunginya. Masalahnya adalah wanita cantik itu kelaparan. Dia mengusap perut rampingnya yang berbunyi. Tak mungkin juga ia memakan bunga-bunga cantik itu.

Dari sebelah kiri ada sesuatu yang terbang mendekat. Mata Anjani melebar saat menyadari itu adalah kuda bersayap ditunggangi seorang pemuda tampan membawa selendangnya. Dia membeku di tempatnya saat kuda itu mendarat. Kibasan sayapnya menerbangkan kelopak-kelopak kecil padanya.

Pandya turun dari kudanya. Pandangannya tak terlepas dari Anjani, bahkan dari kejauhan. Bahkan jika dirinya penuh debu, kecantikan itu tak berkurang sedikit pun. Bagitu ketampanan Pandya. Namun sayangnya, bagi Anjani kuda bersayap itu jauh lebih memikat hatinya. Orang yang sudah jatuh hati tak akan terhipnotis oleh kelebihan orang lain.

"Aku menemukan bunga paling cantik," gumam Pandya terpesona pada Anjani.

Wanita itu menatap datar padanya.

"Bolehkah aku memakaikan selendangmu?" tambah Pandya sambil menunjukkan selendang biru di tangannya.

Anjani cukup terkejut dengan ucapannya. Dia mundur beberapa inchi. "Bagaimana bisa seorang asing begitu lancang? Apa tidak ada yang mengajarimu tentang kejawen?"

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang