EPISODE 4: Rahasia di Luar Tembok Istana

55 7 0
                                    

Nawang Manik duduk di kursi perak di aulanya sendiri, ruangan yang tidak bisa dimasuki bidadara-bidadari lainnya. Ruangan di mana langit-langit kubahnya seperti langit malam yang bertabur rasi bintang, yang lantainya hitam putih seperti papan catur, dan dinding putihnya dipenuhi gulungan kertas yang berisi darma yang telah turun ke dunia. Dialah bidadari berselendang warna nila, yang menjaga darma manusia dan yang membimbing jiwa-jiwa manusia, baik yang mati ataupun hidup. Yang kecantikannya mampu memurnikan hati manusia. Yang senyumannya mampu mendamaikan jiwa yang sedang marah.

Dia berpose cantik di kursinya dengan matanya yang tertutup kain. Kursi perak tingginya yang menjadi tiang keseimbangan timbangan raksasa. Di kiri dan kanan kursi itu adalah wadah emas, yang kanan untuk amal baik manusia dan yang kiri untuk perbuatan buruk. Dia tenggelam dalam tirakatnya. Menimbang-nimbang bersama Dewa tentang perbuatan Pandya Wijaya.

Di bumi saat ini Pandya sedang ada di arena bertarung di benteng Prajurit. Dia berlatih silat bersama Patih Kebo Abang. Dentuman pedang mereka menggema, sangat kentara keduanya adalah ksatria yang tangguh. Gerakan mereka begitu gagah namun tetap indah. Saling mengelak dan mengeluarkan jurus masing-masing.

"Jangan pernah mengalah hanya karena aku Putra Mahkota, Pamanda," cetus Pandya sambil terus mengibaskan pedangnya.

"Sesuai perintah, Paduka!"

Ting! Ting! Ting! Mereka saling menyerang makin kuat walau keringat sudah membasahi baju mereka. Para prajurit yang menonton terkesima sekaligus minder, Pangeran yang harus mereka lindungi malah lebih hebat dari mereka sendiri.

Glentang! Pedang Pandya berhasil dilucuti. Tapi dengan cepat dia mengeluarkan keris di pinggangnya dan menodongkan ke Kebo Abang. Mereka saling diam menghunuskan senjata. Pertarungan itu seri.

"Anda makin hebat, Raden," Kebo Abang memberi pujian sambil kembali menyarungkan pedang besarnya.

Pandya tersenyum puas. Lalu mengambil pedangnya yang terlempar. Dia memandang para prajurit yang membungkuk memberi pujian atas kehebatannya. Hingga tiba-tiba pikirannya teralihkan saat memandang dinding tinggi di belakang para prajurit. Dia tak pernah tahu ada apa di luar tembok istana.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya. Keraton itu punya tiga dinding. Dinding terdalam melindungi bangunan-bangunan internal keraton. Di antara dinding itu dan yang tengah terdapat benteng prajurit. Lalu diantara dinding tengah dan terluar ada pendopo yang digunakan rakyat untuk mengeluarkan suaranya. Pandya tak pernah melewati dinding kedua. Walau semuanya ada di istana, tapi kadang dia ingin keluar dan melihat dunia.

Dia melihat kasim ayahnya melewati gapura ke dua sambil membawa tumpukan lontar. Pasti dia habis mengumpulkan keluh kesah rakyat di pendopo. Dia segera menyarungkan pedangnya dan turun dari arena.

"Sampai di sini saja latihan kita, Pamanda," pamitnya ke Kebo Abang sambil terus berjalan menuju gapura ke tiga. Para pengawal dan dayang-dayangnya langsung mengekori.

Dia terus berjalan gagah melewati kompleks bangunan-bangunan sambil mengikuti kasim tersebut menuju Balai Agung. Adalah hal yang dinantikan para dayang saat Pangeran Pandya kembali dari latihannya. Mereka mengintip dari balik dinding, tiang-tiang, semak-semak taman, hanya untuk melihat betapa tampan nan gagahnya Pangeran Niscala itu.

Bagaimana mereka tak terkesima? Lihat saja tubuh tinggi nan gagah yang dibalut kulit kuning langsat yang bersih tanpa cacat bahkan noda itu. Apalagi saat badannya basah kuyup oleh keringat begini, membuat otot tubuhnya menjiplat sempurna. Jangan tanya wajahnya. Ketampanannya sungguh tak tertandingi. Alis tebal nan tegas, bibir penuh yang merah merona, hindung mancung yang sempurna, dan mata almond yang hitam legam namun amat teduh. Dia muda, tampan dan kaya. Ah, kurang apa pangeran satu ini? Bahkan seorang Putri dari tanah Sunda langsung jatuh cinta saat melihatnya waktu kunjungan negara setahun lalu.

Jaka Tarub dan Tujuh BidadariWhere stories live. Discover now