29. Piknik Rasa Family Time (2)

525 34 1
                                    

◎H a p p y   R e a d i n g◎

✨📚✨

"Dylan? Itu kamu?"

Begitu melihat siapa orang yang memanggil Dylan---bocah itu untuk kedua kalinya, Luna dan Serena jadi mendadak tersedak bulatan cilok yang belum terkunyah dengan sempurna.

Tentu saja, tangan Airil dengan cekatan segera membuka segel dua air mineral yang dibawanya, kemudian langsung menyodorkannya pada kedua gadis di depannya itu. "Hati-hati dong! Emangnya Kakaknya Dylan siapa sih? Bisa-bisanya kalian kaget sampai keselek cilok kayak git-" Airil yang penasaran jadi memutar badannya menghadap objek keterkejutan Luna dan Serena, sekaligus orang yang menurutnya adalah Kakak yang di maksud Dylan.

Tapi, saat ia melihat langsung, siapa orang itu, responnya tak berbeda jauh dari Luna dan Serena. Ia terkejut bukan main. Ternyata orang yang memanggil Dylan itu, memanglah orang yang mereka kenal.

Dylan berseru. Dia segera menerjang Kakaknya dengan pelukan erat dan kuat, seakan tak ingin lagi kehilangannya lagi. "Cak Nacan!!!" ucapnya tampak bahagia.

"Laskar?! Jangan bilang kalau lo-"

Laskar, cowok itu menatap Airil datar. "Kenapa? Ada masalah?" jawabnya kelewat ketus.

Luna dengan cepat bangkit, lalu berjalan mendekati Laskar. Begitu juga, dengan Serena dan Airil, mereka berdua juga bergegas berdiri untuk mengantisipasi Luna yang bisa saja membuat ulah.

"Bisa biasa aja ngga sih? Udah untung si Airil nolongin adek lo tadi. Mungkin kalau ngga dia, adek lo udah dalam semua kemungkinan terburuk yang bisa aja terjadi. Dasar ngga tahu terimakasih!" geram Luna. Tatapan menusuknya benar-benar mengerikan, meskipun itu masih belum cukup untuk menggoyahkan seorang Laskar. "Jujur, gue lebih suka attitude adek lo, ketimbang lo sendiri."

Namun, kalimat terakhir Luna sedikit membuat harga dirinya tertampar telak. Dia kalah dari anak kecil yang bahkan belum menginjak tiga tahun?

"Cak? Acu mau culun!"

Tangan kecil Dylan yang menarik sweater-nya, menyadarkan Laskar dari lamunan. "Kamu bilang apa?" tanyanya balik. Walau wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi nada bicaranya lebih lembut dari yang tadi.

Bibir Dylan sontak langsung melengkung ke bawah. "Acu mau culun!"

Laskar mengangguk pelan. Dia perlahan menurunkan Dylan dari gendongannya. "Kamu mau ngapain? Jangan jauh-jauh. Kakak ngga mau kamu hilang lagi."

"Acu mau bilang, calau cacak-cacak ini benelan baik, Cak! Apalagi cacak ini! Cak Alil! Dia udah nolong acu!" jelas Dylan sembari memegang tangan Airil yang sedang berdiri di samping kiri Luna. Tak lupa, dia juga menunjukkan lutut dan sikunya yang sudah ditempeli plester bergambar oleh Airil. "Meleca baik! Cacak jangan malahin meleka! Acu nda cuca!"

"Tuh! Dylan aja ngerti kalau kita ngga punya niat jahat sama dia. Kenapa lo yang malah bisa-bisanya punya prasangka jelek sama kita? Apalagi si Airil! Asem banget muka lo kalau ketemu di-"

"Luna udah! Jangan diterusin lagi. Ngga enak sama Dylan. Dia masih kecil."

Serena ikut membenarkan ucapan Airil. Walaupun, dia masih belum puas dengan omelan Luna untuk Laskar, perkataan Airil tak boleh diabaikan begitu saja. Dylan masih kecil. Tingkah Luna yang meledak-ledak bisa saja ditiru Dylan begitu dia beranjak remaja. "Sebaiknya lo tahan dulu semua amukan lo itu. Gue janji, di lain waktu, pasti gue temenin Lo buat sepuasnya ngata-ngatain dia." Serena berbisik agar Airil, Dylan apalagi Laskar tak bisa mendengarnya.

"Capi, acu malah cuka calau Cak Luna malahin Cak Nacan!"

Laskar terkesiap. Sial. Pasti Bayu yang sudah mengajari Dylan hingga bisa berbicara demikian.

What The Hell?! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang