17 - Nowhere, Yet That Place...

94 15 2
                                    

______________________________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

______________________________

Bagaimana bisa malam berharap untuk menjadi satu dengan siang?

_______________________________

Fumiko tak bergeming. Dirinya mematung, tertoksinasi berat oleh setiap aksi yang baru saja dilakukannya bersama Toji. Beberapa saat setelahnya, pemuda itu melepas kontak mereka berdua. Ia menatap Fumiko yang tatapannya masih ke depan, terkejut dan bingung. Sementara hujan masih membasahi keduanya sama rata, tidak satupun dari mereka yang mengaku merasa kedinginan.

Toji melirik Fumiko yang tidak berkedip, lalu kembali menggerakkan jemarinya menuju wajah gadis itu. Ibu jarinya teringin mengusap bekas darah yang berpindah dari miliknya ke bibir penyihir muda itu. Baru saja jemarinya akan menuju bibir Fumiko, gadis itu sudah terlebih dulu menahan Toji, "Tidak perlu. Aku bisa membersihkannya sendiri," ujar Fumiko lantas segera mengusap bibirnya dengan lengan bajunya.

"...Aku tidak punya waktu untuk meladeni hal seperti ini," Sambung Fumiko. Mendengar itu, Toji tersadar. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia melakukannya kepada seorang putri dari tiga klan besar dalam dunia jujutsu, bukan wanita sembarangan yang bisa disentuh dan dimainkan seenak hati.

Bola mata hijau itu kembali mengarah pada Fumiko, sedangkan bibirnya kembali terangkat, "Aku tahu. Kau benar,"

"––Kau tidak punya waktu untuk ini."

Toji mengendurkan pegangannya, lalu penaruh payung hitam itu ke bawah, "Lagipula ide seorang penyihir sepertimu bekerja sama denganku tidak akan pernah berhasil."

Fumiko menentang kalimat itu, "...Bukan begitu. Kita hanya belum berhasil."

Enam kata itu membuat Toji berpikir. Biasanya, dia yang suka membingungkan Fumiko dengan kalimat-kalimatnya yang ambigu dan memiliki arti ganda. Baginya, balasan Fumiko saat ini... Terasa seperti pembalasan dendam, entah itu baik ataupun tidak.

***

Sepulangnya dari tempat dimana pemuda itu tantrum, Fumiko segera mengistirahatkan dirinya di apartemennya. Ia tidak pulang ke rumah mengingat kembali ke sana akan menghabiskan banyak sekali waktu. Matanya menatap nanar langit-langit kamar, lengan kirinya beristirahat pada keningnya yang terasa agak panas. Ia berusaha untuk tidur, tetapi selalu gagal. Banyak bayang-bayang peristiwa yang mengambang bebas di kepalanya.

Semuanya karena Toji. Pemuda kotor yang ia "pungut" dengan harapan bisa mengurangi masalah dan ketakutan yang dirasakan penyihir lain. Fumiko mengingat-ingat ucapan Toji ketika mereka pertama kali bertemu.

Urutan nomor tiga. Ini berarti masih ada urutan ke satu dan dua yang mungkin belum disentuh oleh Toji karena alasan tertentu. Dengan kekuatan fisik dan kemampuan bersenjata semengerikan itu, ia bisa saja mengakhiri nyawa seseorang dengan mudah. Fumiko sendiri heran mengapa ia tidak mati kala itu, padahal seluruh tubuhnya––sejujurnya––sudah sangat mati rasa karena luar biasa sakitnya.

"Toji Zenin. Tetapi lebih baik Zeninnya dibuang,"

Apakah orang itu punya masalah dengan klannya? Satu-satunya alasan masuk akal yang bisa Fumiko simpulkan untuk saat ini adalah karena temperamen Toji yang meledak-ledak. Mungkin saja, pemuda itu terlalu mudah menganggap remeh dan menyakiti orang lain, sehingga klan Zenin mengabaikan dirinya secara penuh. Setelah itu, Toji merasa menjadi "korban" yang tersakiti perasaannya, sehingga memilih untuk balas dendam dengan membunuh penyihir lain.

Sebetulnya tidak juga. Fumiko ingat betul bahwa Toji memiliki sifat tenang ketika menghadapi masalah. Selama beberapa bulan secara paksa harus bertemu dan berkolaborasi, pemuda itu tidak pernah sekalipun menunjukkan ekspresi risau dan gelisah. Pembawaannya selalu tenang. Ditambah lagi, Toji mempunyai tingkat kepercayaan diri yang sangat melonjak tinggi. Ia selalu percaya bahwa dirinya akan menang, dan memang hal tersebut selalu terbukti setiap kali keduanya ditugaskan untuk menjalankan misi bersama. 

Mungkin akan terlalu sulit untuk berusaha menilai orang sepertinya dengan tebakan dan perkiraan pasaran.

"Haa– entahlah... Lagipula itu bukan urusanku," gumam Fumiko lalu menutup matanya. Ia merasa sekujur tubuhnya panas dan lemas, disertai sakit kepala yang cukup kentara.

"Sepertinya aku demam..."

Fumiko mengabaikan rasa tidak nyaman yang bersemayam di pikiran dan tubuhnya lewat menutup mata. Tetapi, malah muncul bayang-bayang air muka Toji ketika Fumiko menolaknya ketika itu, membuatnya semakin sulit untuk istirahat.

Bagaimanapun juga, selama lebih dari 20 tahun hidup di dunia ini, hari ini adalah kali pertamanya melaksanakan gestur aneh itu dengan lawan jenis. Perasaan jijik menggeluti dirinya setiap kali ia mengingat jemari itu menyentuh tengkuknya secara sembarangan. Tetapi, Fumiko tahu ia juga merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat tubuhnya seperti tersengat listrik dan memicu endorfin yang menenangkan.

Konflik batin menghiasi istirahatnya malam itu.

***

Kamar gelap kepunyaan Toji yang sepi terasa nyaman malam ini. Lampu tidur miliknya memancarkan cahaya jingga yang tidak menusuk mata, semakin membuat Toji tenggelam dalam kantuk. Sprei yang berantakan, selimut yang kusut dan bantal yang berserakan menghiasi ruangannya yang dipenuhi bau bir yang tajam. Sesekali, terdengar sendawa yang cukup keras.

Walau sudah minum cukup banyak, pemuda itu tidak kunjung mabuk. Hal ini lantas membuat hatinya sedikit kesal. Dadanya mulai menghangat, matanya sayu karena mengantuk, tetapi perasaan terbang ke awan seperti beberapa jam lalu tidak kunjung dirasakannya. Sebetulnya, Toji hanya ingin menikmati sekali lagi perasaan yang sama waktu itu.

"Hicc–"

Tubuhnya menikmati kenyamanan saat ini.  Kenyamanan yang ia peroleh ketika bekerja sama dengan putri dari klan penyihir terkemuka yang bergelimang harta. Walau demikian, dirinya terlampau serakah. Jiwanya menginginkan lebih, tetapi raganya tidak kunjung mengerti maksud dari signal itu. Sehingga, pada akhirnya, hati Toji masih belum menemukan sebuah kerinduan yang selalu ia cari.

Kekosongan mengisi benaknya hingga dalam, dan menyedihkan––memprihatinkan karena pemuda itu sadar masih belum ada sesuatu yang bisa mengisinya.

–––

To be Continued

Finding 𝐈𝐊𝐈𝐆𝐀𝐈 | Toji ZeninWhere stories live. Discover now