14 - Midst of Good and Evil

114 12 7
                                    

_______________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_______________________________

Hal tabu yang tidak wajar memang dimaksudkan untuk menjadi rahasia.

_______________________________

"Mana kabar kematiannya? Foto jasadnya? Pakaiannya?"

Berkali-kali pertanyaan itu mengulang dan mengisi rungu Toji ketika mulutnya tengah mengunyah takoyaki dengan santai. Pemuda itu mengistirahatkan kedua kakinya di atas meja, matanya sembari melihat pria berbadan bola yang nampak sangat kesal karena sebuah alasan.

"Entahlah. Bukan urusanku lagi sih," gumam Toji acuh tak acuh. Mata hijau kepunyaannya menyorot lemari mewah yang berisikan banyak sekali berbagai macam minuman alhokolik, membuatnya tertarik.

Kling!

Bunyi sebuah gelas stem bersentuhan dengan meja marmer terasa melodia, disertai dengan bunyi kluk ketika tutup botol anggur itu berhasil terbuka, menyebarkan aroma manis yang khas. Bunyi-bunyi seperti ini selalu menjadi favorit Toji dari masa ke masa.

"Bagaimana bisa tidak ada jasadnya? Dia kan masih manusia," tanya pria di hadapannya. Toji membiarkan manik hijaunya bersapa dengan iris mata sang pria, kelopaknya membentuk tatapan yang menggambarkan keapatisan. Bibirnya berhenti mengatup teringin menyuarakan alasan, "Apakah saat perjanjian awal kau pernah meminta bukti fisik? Tidak kan. Jadi itu bukan lagi urusanku."

Mata pria itu memerah, giginya menggertak sebab kesal, "Aku membayarmu mahal-mahal! Bisa-bisanya kau seperti ini!"

Toji menegak segelas penuh anggurnya kemudian kembali merespon, "Iya, aku tahu. Tetapi, sekali lagi, kelalaian klien bukan lagi tanggung jawabku. Anggap saja kau memesan tiket pesawat yang jadwal penerbangannya pukul 09.00 pagi, tetapi kau baru sampai ke bandara pukul 09.20. Memangnya itu kesalahan pihak maskapai?"

"––Tetapi aku tidak mengerti kenapa perempuan lemah sepertinya perlu untuk dibunuh. Dia bukan ancaman, kok."

"Bukan urusanmu! Aku tidak mau tahu, kau harus temukan jasadnya!"

"Aku sudah pernah bilang, sebelum kau mengajukan permintaan lain, siapkan dulu sejumlah uang yang sepadan. Ini sudah permintaan yang ke-4, tetapi tidak ada transferan baru sejak beberapa bulan terakhir."

"Aku asumsikan kau sudah tidak punya uang lagi."

"Kau...! Dasar sok tahu!"

Brak.

Nampaknya Toji menaruh bobot yang terlalu besar pada lengannya, sehingga mendorong pria itu sampai menyentuh rak kabinet. Ia lantas berjongkok dan menyamakan posisi dengan pria penuh permintaan di depannya, "Kau ini tuli atau tidak mampu menginterprestasikan kalimat?"

"Aku sudah memberi waktu setidaknya 2 minggu. Tetapi masih belum ada jaminan apa-apa. Kau kira bisa mengutang dulu?"

Pria itu menarik kerah baju Toji dengan kedua tangannya, "Cepat temukan semua yang berkaitan dengan gadis itu!"

Brugh.

"Kau tahu, bahkan orang sepertiku tidak akan sudi memenuhi permintaan bejat menjijikan seperti ini kalau tanpa ada imbalan."

"Kau sudah tidak ada gunanya."

Dengan itu, sebuah kepalan tangan mendarat tepat di rahang sang pria. Pukulan yang keras sehingga membuatnya tersungkur ke bawah. Namun, Toji tidak berhenti sampai disitu. Ia kembali mendesak buku jarinya dan segera menghancurkan gigi orang di hadapannya.

"Bodoh," bukannya melepas genggaman di kerah baju Toji dan lari, orang itu malah menggenggamnya kian erat. "Kau memang mau mati sepertinya."

Bugh!

"Semoga dewa meng-kh– menghukum––"

Bugh!

"Berhenti meracau tidak jelas."

Bunyi pukulan mengisi ruangan untuk waktu yang cukup singkat. Tidak lama, kondisi sudah sama seperti semula. Bahkan jauh lebih tenang, tanpa adanya seruan dari pria berperut bola tadi. Toji mengambil sapu tangan di kantung baju pria itu, lantas menyeka keringat di keningnya yang serta merta terciprat sedikit darah.

"Haah. Padahal aku sudah sempat berjanji tidak melakukannya lagi,"

"Apalah daya. Kalau sampai semua jadi tidak mulus hanya karena orang tidak berguna seperti ini kan sayang sekali..."

Ia lantas melepeh bola kutukan dari mulutnya, lalu membiarkan setiap jengkal tubuh pria itu dan segala barang yang disentuhnya terselimuti lendir roh kutukan ulat, sehingga hanya jejak kutukan saja yang tersisa. Dengan begini, tidak akan ada yang sadar kematiannya disebabkan pembunuhan oleh tangan seorang manusia.

"Nona, apa kau tahu pilihan apa yang paling kusukai di dunia ini?"

"Maksudmu?"

"Pilihan yang membuat orang lain kebingungan."

"...Haha, kau pasti bingung kan?"

***

Langkah Toji sedikit dipercepat ketika melihat bayang-bayang Fumiko dari kejauhan.

Pendengaran Fumiko menyadari adanya bunyi tapak kaki, membuat iris berona karmin itu berakhir mengarah pada Toji. Bibirnya melantunkan kalimat yang seakan menyapa sang pemuda, "Kau agak telat hari ini, Toji."

"Aku tahu. Maafkan aku ya, Nona?"

Fumiko menatap penampilan rekan-nya yang agak berantakan, "Apa kau tidak menyetrika kerah bajumu?"

Pemuda itu terkekeh.

"Ah, sepertinya aku lupa."

Walau begitu, Fumiko belum mengalihkan pandangannya. Ia melihat noda merah yang ada di ujung bibir Toji dan kerah bajunya.

"Itu darah?"

Toji tersenyum bingung, "Ah? Tadi aku sempat minum anggur, sepertinya tumpah," ujarnya meyakinkan. Ia kemudian menghampiri Fumiko yang sudah rapi, "Kalau Nona sudah siap, ayo pergi."

Fumiko diam untuk sesaat, lalu tersadar, "Oh iya. Aku lupa aku harus mengenalkanmu pada mereka."

Pemuda itu tersenyum sekali lagi. Ia mengambil tentengan milik Fumiko lalu membersihkan pakaiannya.

"Oke, aku juga tidak sabar menunjukkan keahlianku."

"Jangan lupa untuk menjaga sikap."

"Aku tahu."

–––

Ya Tuhan, libur di hari Senin memang asik, tapi bisa gak dibuat sampai hari Jumat?

Btw terima kasih untuk kamu yang sudah membaca~ 🌹🌹🌹

Finding 𝐈𝐊𝐈𝐆𝐀𝐈 | Toji ZeninTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang