15 - He's There, But Remain Unseen...

109 11 4
                                    

Disclaimer

Karena cerita ini mengambil latar belakang beberapa belas tahun ke belakang, dunia jujutsu belum terlalu menganggap berguna seseorang yang tidak punya teknik kutukan. Walaupun memang beberapa telah berhasil terpilih, hasil akhirnya tidak terlalu memuaskan. Sehingga muncullah stigma bahwasanya seorang penyihir tanpa teknik kutukan itu sama saja seperti payung tanpa kehadiran hujan–tidak berguna.

–––

"Nona, berapa lama lagi aku harus menunggu?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Nona, berapa lama lagi aku harus menunggu?"

Sudah satu jam lebih kedua orang itu duduk di sebuah ruangan yang diisi beberapa orang. Fumiko membawa Toji ke gedung besar berhiaskan ornamen tradisional Jepang yang sudah cukup lama dikenal sebagai organisasi penyihir jujutsu diluar bidang pendidikan. Berbeda dengan sekolah jujutsu Tokyo atau Kyoto yang memfokuskan untuk memaksimalkan potensi seorang penyihir muda, organisasi ini menetapkan ketentuan dimana hanya penyihir-penyihir berbakat saja yang boleh menjadi bagian di dalamnya.

"Ah? Maafkan aku. Tetapi sepertinya petinggi disini mengutamakan mereka yang punya teknik kutukan bawaan terlebih dahulu..."

Toji mengangguk paham. Kakinya bersilang di atas bangku besi, lalu ia menyenderkan kepalanya pada kedua tangannya yang saling bertaut. Ia melihat kondisi sekitar lalu melihat nomor urut miliknya: Nomor 7, sedangkan yang sedang diwawancarai oleh petinggi itu adalah nomor 9. Ia termenung sejenak, sampai di satu titik tertawa remeh, "Heh. Memang hidup ini selalu tidak adil ya," gumam Toji.

Fumiko menyadari pemuda itu mulai kehilangan kesabaran, sehingga berusaha mengalihkan topik. "Kalau dipikir-pikir, kau juga menyebabkan ketidakadilan itu."

Alis Toji naik sebelah, "Maksudmu?"

"...Ah. Karena aku membunuh banyak nyawa yang tidak berdosa? Mereka yang belum pantas mendekati ajalnya malah disegerakan, itu ketidakadilan?" Pemuda itu menatap Fumiko, tidak ada sedikitpun mimik wajahnya yang mengindikasikan bahwa ia tersinggung.

Fumiko mengedikkan bahu, "Yah... Aku hanya bertanya. Kalau kau tersinggung, berarti memang ada yang salah dengan dirimu."

"Heh. Kau selalu bicara dampak di masa sekarang ya? Tidak bisakah kau sesekali kembali mengulas balik masa lalu? Kau tahu, di setiap motif tindakan seseorang yang dilakukan seseorang selalu ada sebab––"

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Toji sudah dipanggil untuk wawancara dan tes kemampuan dasar.

"Berikutnya, Toji Zenin, nomor urut 7."

Pemuda itu berdecih pelan, sebal lantaran namanya malah dipanggil saat ia ingin menerangkan pandangannya. Walaupun begitu, ia kembali memandangkan matanya pada wajah Fumiko. Gadis itu menunjuk ke arah ruang di hadapan mereka berdua dengan ibu jarinya, mengarahkan Toji untuk masuk ke dalam.

"Masuklah, mereka menunggumu."

–––

"Toji Zenin, seorang... He? Zenin?" Pria yang nampaknya sudah berkepala empat itu mengucapkan kalimatnya dengan nada bingung.

Finding 𝐈𝐊𝐈𝐆𝐀𝐈 | Toji ZeninWhere stories live. Discover now