Mentari Tak Lagi Membenci

35 7 0
                                    

Bau rumah sakit memang mengundang banyak rasa bagi siapapun yang datang. Ada yang mencium aroma kegelisahan, aroma kehilangan, juga aroma kesempatan untuk hidup kembali.

Nathan tahu hidupnya sekali lagi diselamatkan oleh Sang Empunya dunia, ia tersadar berucap terima kasih ketika matanya kini mulai terbuka walau masih terasa berat.

Sisi kanannya terasa berat, mungkin karena ada gips yang terpasang di tangan kanannya yang membantu menopang tulang di daerah lengannya yang patah. Namun sedikit lebih berat lagi karena ibunya juga tertidur di sisinya.

Suasana sedikit hening di ruangan itu, hanya ada suara dari monitor yang menunjukkan kondisi vitalnya saat ini dan juga sayup-sayup terdengar suara ayahnya di luar ruangan yang sedang menelepon.

"Thank God. Nathan! Akhirnya bangun juga, Nak!" seru ibunya begitu melihat anak semata wayangnya itu membuka mata, "Gimana? Ada yang sakit?"

Nathan hanya menggeleng. Seluruh tubuhnya belum bisa bergerak sepenuhnya seakan otaknya tidak bisa mengoordinasikan tubuhnya mengikuti apa yang dia mau. Namun ia bisa merasakan seluruh jari kakinya bergerak.

"Kamu kehilangan kesadaran. Makanya mungkin linglung. Kamu juga kehilangan banyak darah jadi Mama terpaksa harus telepon banyak orang karena darahmu langka,"

"Don't tell me. You called her?" ujar Nathan perlahan. Ibunya hanya mengangguk di depannya.

"Dia datang kesini sama pacarnya tadi. Tapi dia sudah pulang sekarang."

Nathan memutar bola matanya, ia benci harus berhutang lagi pada Mentari dengan kondisi begini.

"At least, nanti kamu telepon dia ya. Ucapkan terima kasih."

"Ngapain Mama telepon dia? Sudah cukup nama Nathan jelek di mata dia, sekarang malah bikin Nathan punya hutang segala!"

"Nathan,"

"Kenapa harus dia? Nggak ada lagi satu Indonesia ini atau bahkan satu dunia ini yang punya golongan darah yang sama dengan Nathan???"

Ibunya hanya menghela napas sambil berusaha membuat Nathan tenang, "Keadaannya darurat, kamu nggak sadar dan persediaan disini juga tidak cukup untuk kamu."

"Lagipula, Mama sebenarnya malu saat menemuinya tadi. Setelah apa yang kamu lakukan dulu terhadap dia. Mama malu. Tapi Mama juga harus selamatkan anak Mama satu-satunya."

Nathan bisa melihat Ibunya mulai meneteskan air mata. Ia bergeming dan mengarahkan pandangan ke arah lain sambil terdiam.

"Tapi benar, Tari memang orang baik. Tari masih mau datang membantu terlepas dari apa yang kamu lakukan. Mama ternyata juga masih sayang sama Tari seperti Mama sayang sama kamu. Kalau aja..., kalau aja kalian dulu jadi...,"

Nathan menunduk. Teringat jelas di memorinya begitu sayangnya orang tuanya terhadap Mentari yang begitu sopan dan ceria. Bahkan orang tuanya tidak peduli status keluarga gadis itu siapa, jika dibandingkan dengan status keluarganya yang lumayan berada.

Waktu Mentari meminta pernikahan mereka batal, bukan hanya Nathan yang bersedih. Ibunya bahkan langsung menamparnya. Orang tuanya bahkan ikut berlutut meminta maaf di depan keluarga Mentari begitu mereka tahu yang sebenarnya terjadi.

Nathan menghela napasnya.

Tangan kirinya perlahan menyentuh dadanya, merasakan detak jantung yang mungkin juga mengalirkan darah dari Mentari.

Ia memalingkan wajahnya ketika tersadar ada ketukan di pintu kamar rawatnya.

Seketika keduanya terdiam, Ibunya melangkah ke arah pintu dan membukanya perlahan.

Kesatria Mentari (Completed)Where stories live. Discover now