TIGA PULUH

3.3K 489 53
                                    

Aku baru akan keluar dari ruang guru, ketika ponselku bergetar. Chat masuk, dari Mama. Mamaku tipe yang lebih suka menelepon langsung kalau ada perlu, dibandingkan harus menunggu balasan chat. Jadi aku sedikit terkejut saat menerima chat itu.

Besok pulang dong, Na. Kan weekend. Mama kangen.

Sambil berjalan ke arah gerbang keluar, aku memutuskan menelpon Mama. Panggilanku langsung dijawab di dering pertama.

"Mama sakit?" tanyaku, setelah mengucapkan sapaan.

"Nggak. Masa harus sakit dulu sih biar kamu mau pulang?" gerutunya.

Aku terkekeh pelan. "Ya, nggak gitu." Diam sebentar. "Iya deh, aku pulang sore ini."

"Beneran? Mau dimasakin apa?"

"Nggak usah, nanti aku beliin aja. Mama mau sesuatu?"

"Nggak. Mama mau ketemu kamu aja."

Aku berdecak. "Drama banget deh, Mama," ledekku. "Ya udah, aku mau pesen ojek dulu. See you, Ma."

"See you, Sayang..."

Begitu telepon itu berakhir, aku segera memesan ojek online.

Aku mengernyitkan dahi saat melihat Range Rover merah yang kukenal parkir tidak jauh dari bangunan kos, sementara ojek yang kutumpangi berhenti tepat di depan pagar. Aku melompat turun, mengembalikan helm kepada sopir ojek sambil mengucapkan terima kasih, dan berniat langsung masuk. Tanganku sudah menyentuh pagar, ketika tangan lain menahan lenganku yang bebas. Aku menyentaknya, tahu pasti siapa pelakunya.

"Gue minta maaf."

"Gue capek," balasku.

"Na..."

Aku mengabaikannya, meneruskan langkah melewati pagar kosan, berjalan cepat menuju kamarku. Dia tidak mengikutiku, syukurlah. Berusaha keras untuk tidak memikirkannya, aku meletakkan tas kerja di meja, mengambil baju ganti di lemari, lalu masuk ke kamar mandi. Aku menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk membersihkan badan, lebih lama dari yang kubutuhkan. Begitu mulai menggigil, aku menghentikan shower, mulai mengeringkan badan dengan handuk. Setelah mengenakan pakaian ganti, aku meninggalkan kamar mandi. Saat melewati jendela kamarku yang mengarah ke jalanan, aku melihat mobil merahnya masih terparkir di tempat yang sama. tepat saat itu, ponselku bergetar. Chat masuk, dari Ibnu.

Gue beneran minta maaf udah jadi bajingan beberapa hari ini. Ada yang perlu gue omongin sama lo, Na. Nggak bisa lewat chat. Gue janji ini terakhir kalinya gue ganggu lo.

Aku tahu hari ini akan datang, cepat atau lambat. Hari di mana dia memutuskan menyudahi apa pun yang ada di antara kami. Setidaknya, sekarang aku akan mendapatkan penyelesaian yang kumau, tidak lagi digantung tanpa kabar.

Pertanyaan besarnya sekarang, apa aku sudah siap?

Aku tertawa sendiri. Menertawai diri, tepatnya. Apa yang kuharapkan? Saat dia ingin hubungan yang jelas, aku memaksanya menjalani entah apa ini. Harusnya aku yang paling siap saat semua ini selesai. Ini yang kumau, kan? Hubungan kasual tanpa ikatan, yang bisa berakhir kapan pun kami mau.

Meraih hairdryer, aku mulai mengeringkan rambut, masih sambil menatap chat yang terbuka. Keterangan di bawah nama Ibnu menunjukan dia sedang online, yang berarti dia juga pasti tahu kalau aku sudah membaca pesannya. Tapi dia tidak mengirimkan chat lain. Seolah memang memberiku waktu untuk mengambil kepurusan untuk menemuinya atau tidak.

Selesai mengeringkan rambut, aku menyimpan kembali hairdryer di laci. Mobil Ibnu masih belum bergerak. Kali ini, aku melihat sosoknya berdiri di samping pintu mobil itu, bersandar dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sementara kepalanya menunduk. Aku menghela napas, meraih ponsel dan mengetik balasan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EqualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang